Selasa, 06 Januari 2015

ANALISIS HUKUM TANAH ADAT DI YOGYAKARTA


Sesungguhnya bagi bangsa Indonesia hukum adat sudah tua umurnya, sama tuanya dengan kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hukum adat sudah diketahui dan dilaksanakan orang sejak zaman Melayu Polinesia, kemudian dalam perkembangan selanjutnya hukum adat dipengaruhi agama Hindu, agama Islam dan agama kristen. Jadi hukum adat yang dikatakan hukum Indonesia asli itu adalah hukum Indonesia yang telah berakulturasi dengan hukum Hindu, hukum Islam, dan hukum Kristen.

Hingga saat ini hukum adat masih banyak berlaku di beberapa daerah tertentu di Indonesia. Masyarakat adatnya pun dengan sangat patuh mengikuti berbagai hukum adat yang berlaku, karena sejatinya hukum adat merupakan hukum yang hidup (living law).
Hukum adat secara konstan selalu diinterpretasi ulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi komersial. Dimasa sesudah kemerdekaan hukum adat perlu dipertahankan bahkan harus dijadikan landasan berpijak dari pembentukan hukum nasional, agar hukum nasional bukan dihidupkan bukan dengan jiwa dan isi budaya barat, tetapi harus dikembalikan pada jiwa dan isi kepribadian nasional, dengan memperhatikan kepentingan modern, kepentingan masyarakat bangsa Indonesia yang maju di berbagai bidang kehidupan.
1.      Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Istilah “hukum adat” adalah  terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “adatrecth” . ketika orang-orang yang datang ke Indonesia, kebudayaan Indonesia sudah tinggi, bangsa Indonesia suda mengatur kehidupan dan ketatanegaraanya sendiri dengan aturan yang disebut adat.
Adat sesungguhnya dapat kita pandang sebagai suatu bentuk hukum. Adat pada esensinya dipahami sebagai  yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri.
Masyarakat pada kenyataannya tidak pernah memahami adat sebagai suatu entitas yang terpisah dengan hukum. Setidaknya ada dua hal yang menjadi dasarnya : pertama, masyarakat memahami adat sebagai norma yang berhubungan dengan keseluruhan hidup manusia, dan juga hubungan mereka dengan fenomena alam ; kedua, terma adat digunakan untuk membedakan tradisi hukum yang asli dengan nilai-nilai hukum yang dibawa oleh agama, khususnya setelah masuknya pengaruh tradisi hukum agama dari luar seperti Islam dan Hindu.
2.      Masalah Hukum Adat Tanah di Yogyakarta
Berdasarkan sejarah terbentuknya Kerajaan Yogyakarta, maka pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah pada mulanya terbentuk feodal yang kemudian berubah menjadi hak atas tanah secara komunal dan hak milik perseorangan. Hal ini terjadi karena segala sesuatunya berasal dan bersumber kepada pranata-pranata yang dikeluarkan oleh Penguasa Kerajaan, yang berarti segalanya berorientasi kepada kekuasaan raja. Raja adalah merupakan satu-satunya penguasa wilayah yang tertinggi, yang menjadi pusat sembahan dan dambaan para kawula dalem. Menurut salah satu informan dikatakan bahwa karena sangat besarnya kepercayaan rakyat kepada sultan atau raja, yang seakan-akan sebagai penguasa tunggal hingga seluruh tanah seisinya serta cara pengaturannya di percayakan penuh kepada beliau, semua tanah adalah kagungan dalem noto artinya milik raja atau sultan.
Tanah sebagai kagungan dalem noto atau milik raja, pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a.       Keprabon Dalem.
Dimaksud dengan Keprabon Dalem yaitu serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di Ngayogyakarta. Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender pusaka, sedang benda tidak bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil, kraton dan lain sebagainya.
b.      Dede Keprabon Dalem
Tanah dede keprabon dalem diperuntukkan:
1.      Mendirikan rumah-rumah bagi putro sentono dalem, seperti Pangeran Adipati Anom, Pangerah Hangabehi.
2.      Mendirikan rumah-rumah bagi abdi dalem seperti Pepatih Dalem di Kapatihan, Dalapan Nayoko di kenayakaan.
3.      Sebagai gaji para putro sentono dalem, dan para abdi dalem, bagi desa-desa, Kademangan, Kabekelan di kelurahan, dan ragi kawulo dalem atau rakyat dengan hak anggadhuh turun temurun.
Kududukan rakyat sebagai petani penggadhuh adalah sebagai penggarap dalam arti yang sebenarnya, dengan pengertian mereka tidak memiIiki hak atas tanah itu. Adapun hasil dari tanah itu atau hasil panen dibagi dua disebut dengan maru dengan perincian: 2/5 bagaian untuk patuh, 2/5 bagian lagi untuk penggarap atau petani, dan 1/5 bagian untuk bekal.
Rakyat sebagai lapisan masyarakat terbawah tidak memiliki hak apapun atas tanah yang ditempati dan dikerjakannya. Dalam lingkungan masyarakat banyak dipengaruhi anggapan dan keyakinan bahwa raja adalah pemimpin yang suci mengusai segala-galanya dan memiliki segalanya, bahkan dirinya dianggap sebagai salah satu yang dikuasai dan menjadi hak milik raja. Untuk masa sekarang juga masih banyak orang yang ingin menjadi abdi dalem, meskipun imbalan sebagai abdi kecil sekali bahkan mungkin tanpa mendapat imbalan.
Pada jaman sebelum reorganisasi, Di daerah swapraja Yogyakarta tanah adalah milik raja dan ia berkuasa penuh atas tanah-tanah. Sebagian dari tanah-tanah itu langsung dikuasai oleh raja, yang merupakan semacam tanah domein.
Sebagian tanah lainnya, ialah apa dinamakan tanah kejawen, atau sering juga disebat tanah gaduhan, tanah lungguh dan yang dalam istilah asing terkenal dengan tanah apanage, dipergunakan untuk menjamin kebutuhan daripada keluarga raja, atau untuk menggaji para abdi dalem.
Dalam raja-raja ketegangan antara masyarakat dan “beschikkingsrecth”nya, dan hak-hak perseorangan, juga terdapat antara raja dan perseorangan pemunya hak tanah. Semuanya adalah milik raja. Tiga hal yang menyebabkan paham milik raja (vorstendomein) dan hak milik raja dapat timbul dengan kuatnya di tengah-tengah imbangan itu, yaitu :
1.      Yang tak membahayakan, ialah bahwa menurut adat bahasa adalah hamba tanah itu disebut : Tanah Raja, tanah milik raja, milik khusus raja, sebagaimana segala-galanya adalah kepunyaan raja dan untuk raja.
2.      Bahwa dalam hubungannya degan orang-orang asing tokoh hukum daripada raja-raja atas tanah kosong, hak milik raja atas tanah.
3.      Yang memeperkuat paham “hak milik raja atas tanah” ialah karena pertumbuhan kearah hak perseorangan yang disertai beban-beban pajak yang berat dan pengusiran-pengusiran yang kejam di satu pihak dan hak-hak yang tipis lagi tidak bebas atas tanah sebagai upah atas pekerjaan-pekerjaan.

3.      Analisis Hukum Mengenai Permasalahan Hukum Adat Tanah di Yogyakarta
Ø  Status Hukum Tanah Yogyakarta Setelah Berlaku UUPA
Dikeluarkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960 L.N. 1960-10. Dalam salah satu konsidennya mendasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat".
Berdasarkan hak menguasai tersebut, maka negara mempunyai wewenang untuk:
1.      Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam ketertiban hukum masyarakat hubungannya dengan hak pertuanan, bilamana orang melukiskan tanda ciri isinya hak-hak perseorangan atas tanah dan keadaannya hak-hak itu ,dalam berlakunya dibatasi oleh hak-hak perseorangan atas tanah, begitupun hak perorangan terbatas oleh kelonggaran yang ditentukan.
Kemudian atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada orang-orang baik secara perseorangan atau individu maupun secara bersama-sama serta kepada badan-badan hukum, menurut peruntukan dan keperluannya. Macam-macam hak atas tanah tersebut, diperinci lebih lanjut dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 5/1960, yang meliputi :
a.       Hak Milik
Bilamana seorang anggota masyarakat menaruh hubungan perseorangan atas pekarangan atau ladang adalah berdasar atas “beschikkingsrecht” yang ia ikut mendukungnya, maka dalam pokoknya hak itu disebut hak milik.
b.      Hak Guna Usaha
c.       Hak Guna Bangunan
d.      Hak Pakai
e.       Hak sewa
f.       Hak membuka tanah
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Hak atas tanah yang bersifat sementara, ditentukan dalam Pasal 53 UUPA yang meliputi; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sewa tanah pertanian. Karena sifatnya sementara dimungkinkan akan dihapus, hal ini untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
Ø  Asas Hukum Status Tanah Adat Daerah Yogyakarta.
Untuk mengetahui asas hukum bekas tanah adat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka apabila mengacu kepada UU No. 3 Tahun 1950 maka status tanah di daerah Yogyakarta yang dahulunya merupakan tanah Adat Kasultanan dan Pakualaman dengan keluarnya Undang-Undang tersebut statusnya menjadi Rijksblad Kasultanan, Sultan Grant, Paku Alam Grond, namun dengan keluarnya Undang-Undang yang baru terbit dikemudian hari yaitu UUPA No. 5 th. 1960, apabila mengacu atau tunduk pada aturan baru tersebut, maka status tanah Adat di Daerah Yogyakarta yang sebelumnya adalah Rijksblad Kasultanan, Sultan Grant, Paku Alam Grond, dengan terbitnya undang-undang tersebut status tanah Adat menjadi dikonversi berdasarkan UUPA yang baru tersebut.
Apabila Asas Hukum yang dipakai adalah Lex Speciali Derogat Lex Generale, aturan yang khusus menyimpangi atau mengabaikan aturan yang umum, maka seharusnya UU No. 3 Tahun 1950 yang dianggap paling kuat dalam mengatur status tanah adat di daerah Yogyakarta, oleh karena dalam Asas hukum Lex Speciali Derogat Lex Generale ini UU No. 3 Tahun 1950 lebih khusus mengatur Pemerintah Daerah Yogyakarta berikut tanah adat asset daerah dibanding Undang-Undang Pokok Agraria yang pemberlakuan hukumnya lebih umum kepada siapa saja dan atas tanah apa saja.
Apabila Asas Hukum yang dipakai adalah Lex Posteriore Derogat Lex Priore, aturan baru akan mengalahkan aturan yang lama dalam oyek hukum yang sama atau sejenis, maka seharusnya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Th. 1960 yang dianggap paling kuat dalam mengatur status tanah adat di daerah Yogyakarta, oleh karena dalam Asas hukum Lex Posteriore Derogat Lex Priore ini Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 th. 1960 terbitnya lebih belakangan atau baru dibanding UU No. 3 Tahun 1950 yang terbitnya lebih dahulu atau lama.
Dari tinjauan asas hukum di atas itu pula, maka seharusnya untuk menuju sistem hukum nasional yang modern khususnya hukum pertanahan, perlu adanya sitemisasi yaitu dari peraturan tanah adat yang lebih khusus dan rendah derajatnya untuk ditingkatkan kepada yang lebih umum dan tinggi derajatnya sehingga menjadi sistem hukum pertanahan nasional, yaitu status tanah Adat di Daerah Yogyakarta yang berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950 dengan menjadikan status tanah adat berupa Rijksblad Kasultanan, Sultan Grant, Paku Alam Grond pada saat dihadapkan dengan UUPA No. 5 th. 1960, biarlah penyelesaian sengketa hukum tersebut diselesaikan melalui mekanisme pengadilan tentang hukum manakah yang dianggap paling tepat untuk status tanah Adat di daerah Yogyakarta tersebut, sehingga putusan hak atas tanah Adat di daerah Yogyakarta tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum legal.
Kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam bidang pertanahan bagi berlakunya hukum adat sebagai landasan hukum agraria dalam sistem hukum nasional yaitu dengan memberlakukan berbagai Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta.Dari kedudukan hukum yang semacam ini maka kedudukan tanah adat di Daerah Yogakarta dengan berlakunya UUPA terjadi pengalihan keagrariaan di Daerah Yogyakarta yang sesuai dengan UUPA menurut sistem dekonsentrasi.



REFERENSI   :
 
- Muhammad Bushar, Asas-asas hukum adat suatu pengantar, PT Pradnya Paramita : jakarta, 1994.
- Hilman Hadikusumah, Pokok-pokok pengertian Hukum Adat, Penerbit Alumni : Bandung, 1980.
- Ratna Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Penerbit TERAS : Yogyakarta, 2008.
- http://www.achluddin.com/2009/02/kedudukan-hukum-tanah-adat-di-daerah.html
- Mr. B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita : Jakarta, 1974.
- Sugeng, Undang-undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 dalam kaitannya dengan perkembangan Hukum Tanah Nasional PDF.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok Agraria PDF
- http://www.achluddin.com/2009/02/kedudukan-hukum-tanah-adat-di-daerah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar