Sesungguhnya bagi bangsa Indonesia hukum adat sudah tua umurnya, sama tuanya dengan kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hukum adat sudah diketahui dan dilaksanakan orang sejak zaman Melayu Polinesia, kemudian dalam perkembangan selanjutnya hukum adat dipengaruhi agama Hindu, agama Islam dan agama kristen. Jadi hukum adat yang dikatakan hukum Indonesia asli itu adalah hukum Indonesia yang telah berakulturasi dengan hukum Hindu, hukum Islam, dan hukum Kristen.
Hingga saat ini hukum adat
masih banyak berlaku di beberapa daerah tertentu di Indonesia. Masyarakat
adatnya pun dengan sangat patuh mengikuti berbagai hukum adat yang berlaku,
karena sejatinya hukum adat merupakan hukum yang hidup (living law).
Hukum adat secara konstan
selalu diinterpretasi ulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi komersial. Dimasa
sesudah kemerdekaan hukum adat perlu dipertahankan bahkan harus dijadikan
landasan berpijak dari pembentukan hukum nasional, agar hukum nasional bukan
dihidupkan bukan dengan jiwa dan isi budaya barat, tetapi harus dikembalikan
pada jiwa dan isi kepribadian nasional, dengan memperhatikan kepentingan
modern, kepentingan masyarakat bangsa Indonesia yang maju di berbagai bidang
kehidupan.
1. Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Istilah “hukum adat”
adalah terjemahan dari istilah dalam
bahasa Belanda “adatrecth” .
ketika orang-orang yang datang ke Indonesia, kebudayaan Indonesia sudah tinggi,
bangsa Indonesia suda mengatur kehidupan dan ketatanegaraanya sendiri dengan
aturan yang disebut adat.
Adat sesungguhnya dapat kita
pandang sebagai suatu bentuk hukum. Adat pada esensinya dipahami sebagai yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat
dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat,
maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri.
Masyarakat pada kenyataannya
tidak pernah memahami adat sebagai suatu entitas yang terpisah dengan hukum.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi dasarnya : pertama, masyarakat
memahami adat sebagai norma yang berhubungan dengan keseluruhan hidup manusia,
dan juga hubungan mereka dengan fenomena alam ; kedua, terma adat
digunakan untuk membedakan tradisi hukum yang asli dengan nilai-nilai hukum
yang dibawa oleh agama, khususnya setelah masuknya pengaruh tradisi hukum agama
dari luar seperti Islam dan Hindu.
2. Masalah Hukum Adat Tanah di Yogyakarta
Berdasarkan sejarah
terbentuknya Kerajaan Yogyakarta, maka pola penguasaan, pemilikan, dan
penggunaan tanah pada mulanya terbentuk feodal yang kemudian berubah menjadi
hak atas tanah secara komunal dan hak milik perseorangan. Hal ini terjadi
karena segala sesuatunya berasal dan bersumber kepada pranata-pranata yang
dikeluarkan oleh Penguasa Kerajaan, yang berarti segalanya berorientasi kepada
kekuasaan raja. Raja adalah merupakan satu-satunya penguasa wilayah yang
tertinggi, yang menjadi pusat sembahan dan dambaan para kawula dalem. Menurut
salah satu informan dikatakan bahwa karena sangat besarnya kepercayaan rakyat
kepada sultan atau raja, yang seakan-akan sebagai penguasa tunggal hingga
seluruh tanah seisinya serta cara pengaturannya di percayakan penuh kepada
beliau, semua tanah adalah kagungan dalem noto artinya milik raja atau sultan.
a. Keprabon Dalem.
Dimaksud dengan Keprabon
Dalem yaitu serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di
Ngayogyakarta. Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak
bergerak. Benda bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender
pusaka, sedang benda tidak bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil,
kraton dan lain sebagainya.
b. Dede Keprabon Dalem
Tanah dede keprabon dalem
diperuntukkan:
1. Mendirikan rumah-rumah bagi
putro sentono dalem, seperti Pangeran Adipati Anom, Pangerah Hangabehi.
2. Mendirikan rumah-rumah bagi
abdi dalem seperti Pepatih Dalem di Kapatihan, Dalapan Nayoko di kenayakaan.
3. Sebagai gaji para putro
sentono dalem, dan para abdi dalem, bagi desa-desa, Kademangan, Kabekelan di
kelurahan, dan ragi kawulo dalem atau rakyat dengan hak anggadhuh turun
temurun.
Kududukan rakyat sebagai
petani penggadhuh adalah sebagai penggarap dalam arti yang sebenarnya, dengan
pengertian mereka tidak memiIiki hak atas tanah itu. Adapun hasil dari tanah
itu atau hasil panen dibagi dua disebut dengan maru dengan perincian: 2/5
bagaian untuk patuh, 2/5 bagian lagi untuk penggarap atau petani, dan 1/5
bagian untuk bekal.
Rakyat sebagai lapisan
masyarakat terbawah tidak memiliki hak apapun atas tanah yang ditempati dan
dikerjakannya. Dalam lingkungan masyarakat banyak dipengaruhi anggapan dan
keyakinan bahwa raja adalah pemimpin yang suci mengusai segala-galanya dan
memiliki segalanya, bahkan dirinya dianggap sebagai salah satu yang dikuasai
dan menjadi hak milik raja. Untuk masa sekarang juga masih banyak orang yang
ingin menjadi abdi dalem, meskipun imbalan sebagai abdi kecil sekali bahkan
mungkin tanpa mendapat imbalan.
Pada jaman sebelum reorganisasi, Di daerah swapraja
Yogyakarta tanah adalah milik raja dan ia berkuasa penuh atas tanah-tanah.
Sebagian dari tanah-tanah itu langsung dikuasai oleh raja, yang merupakan
semacam tanah domein.
Sebagian tanah lainnya, ialah
apa dinamakan tanah kejawen, atau sering juga disebat tanah gaduhan, tanah
lungguh dan yang dalam istilah asing terkenal dengan tanah apanage,
dipergunakan untuk menjamin kebutuhan daripada keluarga raja, atau untuk
menggaji para abdi dalem.
Dalam raja-raja ketegangan
antara masyarakat dan “beschikkingsrecth”nya, dan hak-hak perseorangan, juga
terdapat antara raja dan perseorangan pemunya hak tanah. Semuanya adalah milik raja.
Tiga hal yang menyebabkan paham milik raja (vorstendomein) dan hak milik raja
dapat timbul dengan kuatnya di tengah-tengah imbangan itu, yaitu :
1. Yang tak membahayakan, ialah
bahwa menurut adat bahasa adalah hamba tanah itu disebut : Tanah Raja, tanah
milik raja, milik khusus raja, sebagaimana segala-galanya adalah kepunyaan raja
dan untuk raja.
2. Bahwa dalam hubungannya degan
orang-orang asing tokoh hukum daripada raja-raja atas tanah kosong, hak milik
raja atas tanah.
3. Yang memeperkuat paham “hak
milik raja atas tanah” ialah karena pertumbuhan kearah hak perseorangan yang
disertai beban-beban pajak yang berat dan pengusiran-pengusiran yang kejam di
satu pihak dan hak-hak yang tipis lagi tidak bebas atas tanah sebagai upah atas
pekerjaan-pekerjaan.
3. Analisis Hukum Mengenai Permasalahan Hukum Adat Tanah di Yogyakarta
Ø
Status Hukum Tanah Yogyakarta Setelah
Berlaku UUPA
Dikeluarkannya Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, merupakan
pelaksanaan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960
L.N. 1960-10. Dalam salah satu konsidennya mendasarkan pada ketentuan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945, yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan
bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat".
Berdasarkan
hak menguasai tersebut, maka negara mempunyai wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut.
2. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam ketertiban hukum
masyarakat hubungannya dengan hak pertuanan, bilamana orang melukiskan tanda
ciri isinya hak-hak perseorangan atas tanah dan keadaannya hak-hak itu ,dalam
berlakunya dibatasi oleh hak-hak perseorangan atas tanah, begitupun hak
perorangan terbatas oleh kelonggaran yang ditentukan.
Kemudian atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan macam-macam hak
atas tanah yang dapat diberikan kepada orang-orang baik secara perseorangan
atau individu maupun secara bersama-sama serta kepada badan-badan hukum,
menurut peruntukan dan keperluannya. Macam-macam hak atas tanah tersebut,
diperinci lebih lanjut dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 5/1960, yang meliputi :
a. Hak Milik
Bilamana seorang anggota masyarakat
menaruh hubungan perseorangan atas pekarangan atau ladang adalah berdasar atas
“beschikkingsrecht” yang ia ikut mendukungnya, maka dalam pokoknya hak itu
disebut hak milik.
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
Hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Hak atas tanah yang bersifat sementara, ditentukan dalam Pasal 53 UUPA yang meliputi; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sewa tanah pertanian. Karena sifatnya sementara dimungkinkan akan dihapus, hal ini untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
Hak atas tanah yang bersifat sementara, ditentukan dalam Pasal 53 UUPA yang meliputi; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sewa tanah pertanian. Karena sifatnya sementara dimungkinkan akan dihapus, hal ini untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
Ø
Asas Hukum Status Tanah Adat Daerah
Yogyakarta.
Untuk mengetahui asas hukum
bekas tanah adat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka apabila mengacu
kepada UU No. 3 Tahun 1950 maka status tanah di daerah Yogyakarta yang
dahulunya merupakan tanah Adat Kasultanan dan Pakualaman dengan keluarnya
Undang-Undang tersebut statusnya menjadi Rijksblad Kasultanan, Sultan Grant,
Paku Alam Grond, namun dengan keluarnya Undang-Undang yang baru terbit
dikemudian hari yaitu UUPA No. 5 th. 1960, apabila mengacu atau tunduk pada
aturan baru tersebut, maka status tanah Adat di Daerah Yogyakarta yang
sebelumnya adalah Rijksblad Kasultanan, Sultan Grant, Paku Alam Grond, dengan
terbitnya undang-undang tersebut status tanah Adat menjadi dikonversi berdasarkan
UUPA yang baru tersebut.
Apabila Asas Hukum yang
dipakai adalah Lex Speciali Derogat Lex Generale, aturan yang khusus
menyimpangi atau mengabaikan aturan yang umum, maka seharusnya UU No. 3 Tahun
1950 yang dianggap paling kuat dalam mengatur status tanah adat di daerah
Yogyakarta, oleh karena dalam Asas hukum Lex Speciali Derogat Lex Generale ini
UU No. 3 Tahun 1950 lebih khusus mengatur Pemerintah Daerah Yogyakarta berikut
tanah adat asset daerah dibanding Undang-Undang Pokok Agraria yang pemberlakuan
hukumnya lebih umum kepada siapa saja dan atas tanah apa saja.
Apabila Asas Hukum yang dipakai
adalah Lex Posteriore Derogat Lex Priore, aturan baru akan mengalahkan aturan
yang lama dalam oyek hukum yang sama atau sejenis, maka seharusnya
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Th. 1960 yang dianggap paling kuat dalam
mengatur status tanah adat di daerah Yogyakarta, oleh karena dalam Asas hukum
Lex Posteriore Derogat Lex Priore ini Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 th.
1960 terbitnya lebih belakangan atau baru dibanding UU No. 3 Tahun 1950 yang
terbitnya lebih dahulu atau lama.
Dari tinjauan asas hukum di
atas itu pula, maka seharusnya untuk menuju sistem hukum nasional yang modern
khususnya hukum pertanahan, perlu adanya sitemisasi yaitu dari peraturan tanah
adat yang lebih khusus dan rendah derajatnya untuk ditingkatkan kepada yang
lebih umum dan tinggi derajatnya sehingga menjadi sistem hukum pertanahan
nasional, yaitu status tanah Adat di Daerah Yogyakarta yang berdasarkan UU No.
3 Tahun 1950 dengan menjadikan status tanah adat berupa Rijksblad Kasultanan,
Sultan Grant, Paku Alam Grond pada saat dihadapkan dengan UUPA No. 5 th. 1960,
biarlah penyelesaian sengketa hukum tersebut diselesaikan melalui mekanisme
pengadilan tentang hukum manakah yang dianggap paling tepat untuk status tanah
Adat di daerah Yogyakarta tersebut, sehingga putusan hak atas tanah Adat di
daerah Yogyakarta tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum legal.
Kebijakan Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam bidang pertanahan bagi berlakunya hukum adat sebagai
landasan hukum agraria dalam sistem hukum nasional yaitu dengan memberlakukan
berbagai Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta.Dari kedudukan hukum yang semacam
ini maka kedudukan tanah adat di Daerah Yogakarta dengan berlakunya UUPA
terjadi pengalihan keagrariaan di Daerah Yogyakarta yang sesuai dengan UUPA
menurut sistem dekonsentrasi.
REFERENSI :
- Muhammad Bushar, Asas-asas hukum adat suatu pengantar, PT Pradnya Paramita : jakarta, 1994.
- Muhammad Bushar, Asas-asas hukum adat suatu pengantar, PT Pradnya Paramita : jakarta, 1994.
- Hilman Hadikusumah, Pokok-pokok pengertian Hukum Adat,
Penerbit Alumni : Bandung, 1980.
- Ratna Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Penerbit
TERAS : Yogyakarta, 2008.
- http://www.achluddin.com/2009/02/kedudukan-hukum-tanah-adat-di-daerah.html
- Mr. B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
PT. Pradnya Paramita : Jakarta, 1974.
- Sugeng, Undang-undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 dalam
kaitannya dengan perkembangan Hukum Tanah Nasional PDF.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan dasar pokok-pokok Agraria PDF
- http://www.achluddin.com/2009/02/kedudukan-hukum-tanah-adat-di-daerah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar