Selasa, 06 Januari 2015

HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN HUKUM


Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik. Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar. Dapat dikatakan bahwa struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik. Kerapkali hukum itu tidak ditegakkan seperti sebagaimana mestinya karena adanya intervensi politik.

Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya hukum-hukum yang memiliki karakter tersendiri. Sistem hukum tercermin dari politik yang berkembang. Tentu saja hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik. Bahwa pada kenyataannya keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi suatu produk hukum. Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya.
Idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Disini kita akan membahas mengenai hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Sejauh mana hubungan antara hukum dan politik tersebut.

A.    Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan

Hukum itu diciptakan bukan semata-mata untuk mengatur, akan tetapi lebih dari itu untuk menciptakan adanya kesejahteraan dan keadilan dalam  masyarakat. Maka hukum itu terus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Secara empiris hukum dipandang sebagai bagian dari fenomena sosial. Pada awalnya tidak ada keragu-raguan mengenai kemampuan negara untuk secara otonom dan mutlak mengatur serta menata kehidupan masyarakat. Hukum menjadi semacam alat di tangan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang dikehendaki.[1]
Negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan democratic rechtsstaat (negara hukum yang demokratis). Konsekuensi negara hukum yang demokratis adalah adanya supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi.[2] Demokrasi yang workable dapat berfungsi dan mampu memelihara stabilitas politik nasional serta menciptakan pemerintahan yang efektif, kuat, acountable yang dibangun dalam sebuah masyarakat yang tingkat pemilahan sosialnya sangat tinggi.[3]
Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama, yaitu keadilan. Plato mencanangkan suatu tatanan di mana hanya kepentingan umum yang diutamakan, yakni partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Lebih tepatnya ia mencanangkan suatu negara dimana keadilan akan dicapai secara sempurna.[4]
Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun hukum yang berkeadilan.
Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor masa lalu (pengaruh penjajahan), faktor-faktor adat istiadat serta budaya bangsa serta faktor agama yang berpengaruh kuat di Indonesia. Kesemua faktor itulah yang melahirkan sistem hukum Indonesia melalui proses legislasi maupun praktik hukum.
Pembangunan sering diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan tertentu terhadap suatu masyarakat. Sering pula ditegaskan bahwa hakikat pembangunan adalah pembangunan terhadap manusianya. Kenyataannya, pembangunan bukan sekedar perubahan terhadap suatu masyarakat, melainkan juga perubahan terhadap lingkungannya.[5] Pembangunan hukum ditujukan pada masyarakat dan lingkungan untuk membangun hukum yang berkeadilan.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang ang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.[6]
B.     Hukum sebagai produk politik
Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan sebagai suatu sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut, dan umum. Dalam berbagai studi hukum dikemukakan bahwasanya hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akn kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret. Selain itu juga ada yang mengidentifikasikan hukum bersifat imperatif dan fakultatif. Dengan sifat imperatif yaitu peraturan hukum bersifat apriori harus ditaati, mengikat, dan memaksa. Sedangkan hukum bersifat fakultatif yaitu peraturan hukum tidak secara apriori mengikat, melainkan sekedar melengkapi, subsidair, dan dispositif.[7]
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan dan nilai-nilai generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap dan dilakukan oleh berbagai macam agent.[8] Dalam berpolitik kita juga dihadapkan dengan hukum. Hukum merupakan refleksi dari budaya hukum pada suatu tatanan masyarakat.
Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk hukum akan sangat ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi.[9]
Jika melihat fenomena yang telah terjadi, hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong keseweang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang harusnya bisa dijawab oleh hukum. Banyak produk hukum yang lebih diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.[10]
Ternyata hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Disini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan das sein bukan tidak mungkin sangat di tentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya, maupun dalam implementasi penegakkannya.[11]
Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan. Semua pemain politik selalu membawa kepentingan yang kadang-kadang dan bahkan selalu bertubrukan atau saling bertentangan. Karena muara kepentingan politik adalah kekuasaan dan pengaruh, maka konflik kepentingan politik menjadi lebih keras dari konflik lainnya. Karena itulah politik harus diikat dengan norma-norma hukum dan tata cara yang disepakati bersama diantara para pemain politik.
Fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, manusia, bangsa-bangsa, provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya. Struktur politik adalah pengelompokan sosial yang berbeda-beda.[12]
Elite politik memainkan sejumlah skenario yang mengarah kepada kepentingan diri, partai, atau golongannya sendiri. Politics for itself  menjadi sesuatu yang lazim dan mengobsesi pikiran banyak politikus. Politikus yang di parlemen, yang tengah menjalankan fungsi legislasi, dalam menjalankan tugasnya tidak berorientasi kepada upaya memecahkan problema konstitusional, melainkan didasarkan pada upaya menutup kepentingan dan kelemahan pribadi masing-masing elite politik.[13]
Melihat logika berpikir para politikus, maka nyata benar bahwa aroma politics for itself sangat kental. Praktik politik demikian tentu tidak dapat terlalu diharapkan untuk bisa membangun pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap kepentingan bangsa. Akan sulit membangun sebuah pemerintahan yang memiliki state capacity yang jelas dalam menyelesaikan krisis, karena elite politik yang tengah memegang kekuasaan itu sendiri ternyata menjadi sumber dan biang krisis.[14]
Politik memiliki unsur dominan dan mengintimidasi hukum. Para pembuat hukum adalah orang-orang politik yang memegang kekuasaan dan berwenang untuk menentukan hukum. Maka hukum yang ada adalah cerminan dari politik. Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan politik. Sudah dibenarkan bahwa hukum merupakan produk politik.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karateristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe None dan Philip Selznick pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat mempengaruhi pola penegakan hukumnya.[15] Maka masyarakat harus menunjukan dan membuktikan bahwa dirinya mampu menguasai keadaan.
Hukum yang di lahirkan dari politik sudah seharusnya dapat memberikan perlindungan bagi warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga semua orang sama kedudukan di muka hukum itu dapat berjalan dengan baik dan sempurna. Namun karena yang berpolitik itu adalah manusia yang memiliki nafsu akan kekuasaan maka hukum di bentuk dan di buat atas dasar kepentingan kelompok atau golongan mereka dalam rangka melanggengkan kekuasaan atau melindungi diri mereka. Realita ini tidak dapat di pungkiri, bahwa siapapun yang berkuasa maka mereka akan membentuk peraturan perundang-undangan itu atas dasar sikap egoistik pada perlindungan kelompoknya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat pemilik kedaulatan negara.
Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu kekuatan politik yang mengatur hukum yang direkomendasikan oleh pemangku jabatan sehingga produk-produk hukum yang berlaku bukan menjadi suatu proyek dasar yang berdasarkan penghayatan pengamalan pancasila, hingga tak jarang  mendengar kebijakan yang tak berpihak kepada masyarakat dalam budaya dan etika moral kekuasaan yang diamanatkan kepada seorang presiden dan di koordinasikan ke DPR sebagai pemangku amanat rakyat. Peradaban yang menjunjung tinggi atas keadilan sosial bagi masyarakat yang mengartikan bahwa masyarakat memiliki kebijakan secara sosial dan politik akan menciptakan sistem hukum yang tetap menjunjung norma-norma produk hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan moralitas peradaban tersebut.
Politik sebagai subsistem kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi produk hukum sehingga muncul paham baku bahwa “hukum adalah produk politik”.[16]

C.    Determinasi Politik atas Hukum

Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk politik, sehingga hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik. Eksistensi hukum dan kinerja hukum sangat dipengaruhi dengan konfigurasi politik yang sedang terjadi pada periode tertentu.
Sepanjang perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah terjadi tolak dan tarik atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan politik yang otoriter. Jika konfigurasi politik tersebut dimulai dari proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, periode perjalanan konfigurasi politik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.[17]
1.      Pada awal kemerdekaan (18 Agustus – 16 Oktober 1945) melalui pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 secara formal negara tersusun dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter karena menyerahkan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada Presiden sebelum lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dibantu oleh sebuah komite nasional.
2.      Melalui maklumat No. X Tahun 1945 yang kemudian disusul dengan perubahan sistem kabinet konfigurasi politik berubah menjadi sangat demokratis (1945-1959).
3.      Konfigurasi politik yang demokratis ini bergeser menjadi sangat otoriter sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberi jalan bagi Bung Karno untuk menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya (1959-1966).
4.      Ketika orde baru lahir pada bulan Maret 1966 konfigurasi politik kembali bergeser ke arah yang demokratis. Semboyan yang banyak dikumandangkan ketika itu adalah menegakkan kehidupan yang demokratis dan konstitusional, melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, membangun supremasi hukum dan sebagainya (1966-1969/1971).
5.      Keadaan demokratis hanya berlangsung selama 3 tahun pada awal Orde Baru sebab setelah seminar AD II memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi maka format baru politik Indonesia yang disusun adalah format yang tidak demokratis, format yang memberikan kekuatan politik bagi pemerintah (eksekutif) melalui tangan-tangannya di MPR dan DPR. Tujuannya adalah agar bisa tercipta stabilitas politik yang dapat melancarkan jalannya pembangunan (ekonomi). Format politik yang baru itu dituangkan di dalam dua UU politik yang diundangkan pada tahun 1969 yakni UU No. 15 Tahun 1969 (tentang Pemilu) dan UU No. 16 Tahun 1969 (tentang Susduk MPR/DPR/DPRD). Meskipun telah beberapa kali diubah, kedua UU ini secara substansial tetap berlaku sampai sekarang.
Penetapan demokrasi dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-indikator tertentu sebab kedua istilah tersebut ambigu. Indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberpa hal yang juga tampak dari hasil studi tersebut adalah:[18]
1.      Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD. UUD yang sama pada periode ynag berbeda (seperti UUD 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1966 dan 1969/1971-sekarang); sebaliknya UUD yang berbeda pada periode yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950) yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi yang sama yakni demokratis. Dengan demikian, demokratis atau tidaknya suatu sistem politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain-pemain politiknya.
2.      Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan, ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Karakter responsif dan konservatif ditandai, antara lain oleh hal-hal :
a.       Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis).
b.      Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam arti mencerminkan kehendak dan aspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positivistik-instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan progam pemerintah.
c.       Cakupan isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan hukum konservatif memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksanaan (interpretatif).

Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagan berikut ini.[19]

Variabel Bebas

Variabel Terpengaruh
Konfigurasi Politik

Karakter Produk Hukum
Demokratis

Responsif/Populistik
Otoriter

Konservatif/ Ortodoks/ Elitis

D.    Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum di Indonesia
Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multi disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan lain-lain.
Politik dan hukum tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan. Dalam kaitannya dengan hubungan keduanya, ada beberapa pendapat :[20]
a.       Menurut Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan politik memang berjalan dalam dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini saling mempengaruhi.
b.      Menurut Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan pasangan. Politik membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik.
Dari kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik berhubungan sangat erat dikarenakan:[21]
1.         Hukum merupakan produk politik.
2.         Hukum merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat mewujudkan kebijakannya.
3.         Jika sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.  Politik sangat menentukan bekerjanya hukum.[22]
Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi relevan. Tetapi kaum realis pada sudut pandang das sein mengatakan bahwa “hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya”. Ini berarti hukum, mau tidak mau menjadi independent variabel atas keadilan di luarnya, terutama keadaan politiknya.[23]
Untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua Undang-undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.[24]
Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu:[25]
1.      Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik.
2.      Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik.
3.      Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi bahwa, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.
Di indonesia jika dilihat secara realitanya maka akan cenderung bahwa politik determinan atas hukum. Seperti yang telah diasumsikan penulis bahwasanya politiklah yang berperan aktif dalam mengendalikan hukum. Dimana pada keadaan politik tertentu hukum yang dihasilkan juga berjalan sesuai keadaan politik tersebut.
Maka hukum di pandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakkan sebagai independent variabel (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannnya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontesasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi UU. UU yang lahir dari kontesasi tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan politik.[26]
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.[27]
Hukum menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya.[28]
Studi teoritis tentang politik dan produk hukum dilakukan secara lebih mendalam akan terbukti bahwa “aksioma” tersebut berlaku pada produk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Hubungan kausalitas yang yang perangkat teorinya menggunakan dikotomi tentang sistem politik demokratis dan otoriter serta dikotomi antara hukum responsif dan ortodoks/konservatif. Secara garis besar pencirian dan pengukuran ata konsep-konsep tersebut dapat dilihat dalam identifikasi sebagai berikut :[29]


Sistem Politik
Produk Hukum
Demokratis
Otoriter/Non demokratis
Responsif
Ortodoks/ Konservatif
Peranan lembaga perwakilan rakyat menonjol ; berada pada posisi tidak di bawah kekuatan politik pemerintah dan dapat menentukan garis politik nasional. Kebebasan pers relatif terjamin dan partai-partai dapat aktif berperan melalui lembaga perwakilan.
Lembaga perwakilan secara praktis ada pada kondisi kalah kuat dari pengaruh politik pemerintahan sehingga penentu agenda dan arah politik nasional lebih di dominasi oleh pemerintah. Kehidupan pers berada di bawah bayang-bayang kontrol ketat pemerintah. Hal yang sama terjadi pada partai-partai yang lebih menjadi asesoris daripada demokrasi formal.
Pembuatannya melalui proses yang partisipatif, menyerap aspirasi kelompok-kelompok sosial dan individu-individu di dalam masyarakat serta melibatkan lembaga- lembaga kenegaraan. Oleh karenanya ia menggambarkan muatan yang aspiratif dan hanya memberikan space yang sempit bagi pemerintah untuk membuat interpretasi.
Pembuatannya lebih banyak di dominasi oleh lembaga-lembaga negara dan isinya lebih bersifat “positivis instrumentalis” artinya menggambarkan visi dan kemauan politik pemerintah. Materi muatannya banyak memberikan space kepada pemerintah untuk membuat interpretasi melalui delegasi perundang-undangan dan droit function.

Mengacu hal tersebut, maka sejarah politik dan hukum di Indonesia di bagi dalam tiga periode yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode 1966-sampai sekarang; sedangkan produk-produk hukum diarahkan pada hukum-hukum publik. Hasil studi tersebut memperlihatkan secara signifikan bahwa sistem politik yang demokrasi dapat melahirkan hukum-hukum yang responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter dan non demokratis melahirkan hukum-hukum yang memiliki karater konservatif/ortodoks. Jadi, ada hubungan kausalitas antara politik dan hukum, dimana hukum itu begitu dependent terhadap politik yang melahirkannya.[30]
Harus dipisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan way of life masyarakat. Oleh karena demokrasi adalah sistem tang memberi kebebasan dan partisipasi masyarakat, apa yang tampil di publik sangat tergantung dari kecenderungan populasi. Demokrasi adalah cara yang efektif untuk mengontrol operasi kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang. Hal yang lazim jika pembela demokrasi adalah lapisan masyarakat yang terdidik, sedangkan penentangnya adalah mereka yang sedang mengendalikan pemerintahan.[31]
Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum.
Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak-tarik dengan senantiasa mengikuti konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, jika masyarakat mendambakan lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif,[32] yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Maka yang lebih dulu diupayakan adalah menata kehidupan politiknya agar menjadi demokratis. Sebab bagaimanapun juga hukum terus mengikuti arus politik.


[1] Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta : Rajawali Press, 2009. Hlm. 8
[2] Ibid. Hlm. 7
[3] Affan Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006. Hlm. 354
[4] Op.cit. Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi Sampai Implementasi,Hlm.10
[5] Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum Sebgai Suatu Sistem, Bandung : Mandar Maju, 2003. Hlm. 172
[6] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2013. Hlm. 122
[7] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES. 1998. Hlm. 19
[8] Op.cit. Affan Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006. Hlm.118
[9] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999. Hlm. 4
[10] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 1
[11] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pres. 2010. Hlm. 9
[12] Daniel Dhakidae, Sosiologi Politik, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003. Hlm. 31
[13] Zainuddin Maliki, Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik, Yogyakarta : Galang Press, 2004. Hlm. 8
[14] Ibid. Hlm. 9
[15] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Hlm. 72
[16] Ibid. Hlm. 74
[17] Ibid. Hlm. 292-294
[18] Ibid. Hlm. 294-295
[19] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 15
[21] Ibid.
[22] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Hlm. 71
[23] Ibid.
[26] Loc.cit.Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 10
[27] http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12
[28] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jalarta : PT Grafindo Persada, 2007. Hlm.5-6
[29] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.. Hlm. 74-75
[30] Ibid. Hlm.76
[31] Denny J.A, Demokrasi Indonesia : Visi dan Praktek, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2006. Hlm. 74-75
[32] Op.cit. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar