Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya
hukum-hukum yang memiliki karakter tersendiri. Sistem hukum tercermin dari politik
yang berkembang. Tentu saja hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik. Bahwa
pada kenyataannya keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi suatu produk
hukum. Pengaruh
politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik
produk-produk serta proses pembuatannya.
Idealnya hukum
dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai
keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut
kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan
ketertiban dan keadilan di masyarakat. Disini
kita akan membahas mengenai hubungan antara hukum dan politik di Indonesia.
Sejauh mana hubungan antara hukum dan politik tersebut.
A.
Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan
Hukum
itu diciptakan bukan semata-mata untuk mengatur, akan tetapi lebih dari itu
untuk menciptakan adanya kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat. Maka hukum itu terus mengikuti
perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Secara
empiris hukum dipandang sebagai bagian dari fenomena sosial. Pada awalnya tidak
ada keragu-raguan mengenai kemampuan negara untuk secara otonom dan mutlak
mengatur serta menata kehidupan masyarakat. Hukum menjadi semacam alat di
tangan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang dikehendaki.[1]
Negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan
democratic rechtsstaat (negara hukum yang demokratis). Konsekuensi
negara hukum yang demokratis adalah adanya supremasi konstitusi sebagai bentuk
pelaksanaan demokrasi.[2]
Demokrasi yang workable dapat berfungsi dan mampu memelihara stabilitas
politik nasional serta menciptakan pemerintahan yang efektif, kuat, acountable
yang dibangun dalam sebuah masyarakat yang tingkat pemilahan sosialnya sangat
tinggi.[3]
Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum
berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada
suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama, yaitu keadilan.
Plato mencanangkan suatu tatanan di mana hanya kepentingan umum yang
diutamakan, yakni partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Lebih
tepatnya ia mencanangkan suatu negara dimana keadilan akan dicapai secara sempurna.[4]
Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas
politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai
keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga
hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum. Dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun
hukum yang berkeadilan.
Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor masa
lalu (pengaruh penjajahan), faktor-faktor adat istiadat serta budaya bangsa
serta faktor agama yang berpengaruh kuat di Indonesia. Kesemua faktor itulah
yang melahirkan sistem hukum Indonesia melalui proses legislasi maupun praktik
hukum.
Pembangunan sering diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan
tertentu terhadap suatu masyarakat. Sering pula ditegaskan bahwa hakikat
pembangunan adalah pembangunan terhadap manusianya. Kenyataannya, pembangunan
bukan sekedar perubahan terhadap suatu masyarakat, melainkan juga perubahan
terhadap lingkungannya.[5]
Pembangunan hukum ditujukan pada masyarakat dan lingkungan untuk membangun
hukum yang berkeadilan.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa
mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent
of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang ang
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan.[6]
B.
Hukum sebagai produk politik
Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan
sebagai suatu sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut,
dan umum. Dalam berbagai studi hukum dikemukakan bahwasanya hukum mempunyai
sifat umum sehingga peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak
akn kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa
konkret. Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal
yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret. Selain itu juga ada yang
mengidentifikasikan hukum bersifat imperatif dan fakultatif. Dengan sifat
imperatif yaitu peraturan hukum bersifat apriori harus ditaati, mengikat, dan
memaksa. Sedangkan hukum bersifat fakultatif yaitu peraturan hukum tidak secara
apriori mengikat, melainkan sekedar melengkapi, subsidair, dan dispositif.[7]
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau
sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik,
individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan dan nilai-nilai
generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap dan dilakukan oleh
berbagai macam agent.[8]
Dalam berpolitik kita juga dihadapkan dengan hukum. Hukum merupakan refleksi
dari budaya hukum pada suatu tatanan masyarakat.
Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk hukum akan
sangat ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang
melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga
hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling
berinteraksi di kalangan para politisi.[9]
Jika melihat fenomena yang telah terjadi, hukum tidak selalu dapat
dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau penjamin
keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan
memotong keseweang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai
kasus yang harusnya bisa dijawab oleh hukum. Banyak produk hukum yang lebih
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.[10]
Ternyata hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan
lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan
hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan
politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Disini hukum tidak bisa hanya
dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan
yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem
yang dalam kenyataan das sein bukan tidak mungkin sangat di tentukan
oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya, maupun dalam
implementasi penegakkannya.[11]
Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan. Semua pemain
politik selalu membawa kepentingan yang kadang-kadang dan bahkan selalu
bertubrukan atau saling bertentangan. Karena muara kepentingan politik adalah
kekuasaan dan pengaruh, maka konflik kepentingan politik menjadi lebih keras
dari konflik lainnya. Karena itulah politik harus diikat dengan norma-norma
hukum dan tata cara yang disepakati bersama diantara para pemain politik.
Fenomena
politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, manusia, bangsa-bangsa,
provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya. Struktur politik adalah pengelompokan
sosial yang berbeda-beda.[12]
Elite
politik memainkan sejumlah skenario yang mengarah kepada kepentingan diri,
partai, atau golongannya sendiri. Politics for itself menjadi sesuatu yang lazim dan mengobsesi
pikiran banyak politikus. Politikus yang di parlemen, yang tengah menjalankan
fungsi legislasi, dalam menjalankan tugasnya tidak berorientasi kepada upaya
memecahkan problema konstitusional, melainkan didasarkan pada upaya menutup
kepentingan dan kelemahan pribadi masing-masing elite politik.[13]
Melihat
logika berpikir para politikus, maka nyata benar bahwa aroma politics for
itself sangat kental. Praktik politik demikian tentu tidak dapat terlalu
diharapkan untuk bisa membangun pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap
kepentingan bangsa. Akan sulit membangun sebuah pemerintahan yang memiliki state
capacity yang jelas dalam menyelesaikan krisis, karena elite politik yang
tengah memegang kekuasaan itu sendiri ternyata menjadi sumber dan biang krisis.[14]
Politik memiliki unsur dominan dan mengintimidasi hukum. Para
pembuat hukum adalah orang-orang politik yang memegang kekuasaan dan berwenang
untuk menentukan hukum. Maka hukum yang ada adalah cerminan dari politik. Hukum
berkembang sesuai dengan perkembangan politik. Sudah dibenarkan bahwa hukum
merupakan produk politik.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan
hukumnya dan karateristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe None
dan Philip Selznick pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat
tertentu dapat mempengaruhi pola penegakan hukumnya.[15]
Maka masyarakat harus menunjukan dan membuktikan bahwa dirinya mampu menguasai
keadaan.
Hukum yang di lahirkan dari politik sudah seharusnya dapat
memberikan perlindungan bagi warga negara dan seluruh lapisan masyarakat,
sehingga semua orang sama kedudukan di muka hukum itu dapat berjalan dengan
baik dan sempurna. Namun karena yang berpolitik itu adalah manusia yang
memiliki nafsu akan kekuasaan maka hukum di bentuk dan di buat atas dasar
kepentingan kelompok atau golongan mereka dalam rangka melanggengkan kekuasaan
atau melindungi diri mereka. Realita ini tidak dapat di pungkiri, bahwa siapapun
yang berkuasa maka mereka akan membentuk peraturan perundang-undangan itu atas
dasar sikap egoistik pada perlindungan kelompoknya sendiri dengan mengabaikan
kepentingan rakyat pemilik kedaulatan negara.
Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu
kekuatan politik yang mengatur hukum yang direkomendasikan oleh pemangku
jabatan sehingga produk-produk hukum yang berlaku bukan menjadi suatu proyek
dasar yang berdasarkan penghayatan pengamalan pancasila, hingga tak jarang mendengar kebijakan yang tak berpihak kepada
masyarakat dalam budaya dan etika moral kekuasaan yang diamanatkan kepada
seorang presiden dan di koordinasikan ke DPR sebagai pemangku amanat rakyat.
Peradaban yang menjunjung tinggi atas keadilan sosial bagi masyarakat yang
mengartikan bahwa masyarakat memiliki kebijakan secara sosial dan politik akan
menciptakan sistem hukum yang tetap menjunjung norma-norma produk hukum yang
berlaku tanpa mengesampingkan moralitas peradaban tersebut.
Politik sebagai subsistem kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi
produk hukum sehingga muncul paham baku bahwa “hukum adalah produk politik”.[16]
C.
Determinasi Politik atas Hukum
Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk politik, sehingga
hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik. Eksistensi hukum
dan kinerja hukum sangat dipengaruhi dengan konfigurasi politik yang sedang
terjadi pada periode tertentu.
Sepanjang perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah terjadi
tolak dan tarik atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis
dan politik yang otoriter. Jika konfigurasi politik tersebut dimulai dari
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, periode perjalanan konfigurasi
politik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.[17]
1.
Pada
awal kemerdekaan (18 Agustus – 16 Oktober 1945) melalui pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945 secara formal negara tersusun dengan konfigurasi politik
yang sangat otoriter karena menyerahkan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada
Presiden sebelum lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dibantu oleh sebuah
komite nasional.
2.
Melalui
maklumat No. X Tahun 1945 yang kemudian disusul dengan perubahan sistem kabinet
konfigurasi politik berubah menjadi sangat demokratis (1945-1959).
3.
Konfigurasi
politik yang demokratis ini bergeser menjadi sangat otoriter sejak
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberi jalan bagi Bung
Karno untuk menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya (1959-1966).
4.
Ketika
orde baru lahir pada bulan Maret 1966 konfigurasi politik kembali bergeser ke
arah yang demokratis. Semboyan yang banyak dikumandangkan ketika itu adalah
menegakkan kehidupan yang demokratis dan konstitusional, melaksanakan pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, membangun supremasi hukum dan
sebagainya (1966-1969/1971).
5.
Keadaan
demokratis hanya berlangsung selama 3 tahun pada awal Orde Baru sebab setelah
seminar AD II memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi maka format
baru politik Indonesia yang disusun adalah format yang tidak demokratis, format
yang memberikan kekuatan politik bagi pemerintah (eksekutif) melalui tangan-tangannya
di MPR dan DPR. Tujuannya adalah agar bisa tercipta stabilitas politik yang
dapat melancarkan jalannya pembangunan (ekonomi). Format politik yang baru itu
dituangkan di dalam dua UU politik yang diundangkan pada tahun 1969 yakni UU
No. 15 Tahun 1969 (tentang Pemilu) dan UU No. 16 Tahun 1969 (tentang Susduk
MPR/DPR/DPRD). Meskipun telah beberapa kali diubah, kedua UU ini secara
substansial tetap berlaku sampai sekarang.
Penetapan demokrasi dan otoriter itu
didasarkan pada konsep dan indikator-indikator tertentu sebab kedua istilah
tersebut ambigu. Indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan lembaga
perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberpa hal
yang juga tampak dari hasil studi tersebut adalah:[18]
1.
Lahirnya
konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD. UUD yang
sama pada periode ynag berbeda (seperti UUD 1945) dapat melahirkan konfigurasi
politik demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan konfigurasi
politik yang otoriter (periode 1959-1966 dan 1969/1971-sekarang); sebaliknya
UUD yang berbeda pada periode yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan
UUDS 1950) yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi yang
sama yakni demokratis. Dengan demikian, demokratis atau tidaknya suatu sistem
politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya tetapi lebih banyak
ditentukan oleh pemain-pemain politiknya.
2.
Khusus
untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan, ternyata
konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu,
yakni “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum
yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter
melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Karakter responsif dan
konservatif ditandai, antara lain oleh hal-hal :
a.
Dalam
pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat
seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih
didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis).
b.
Cerminan
isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam arti mencerminkan
kehendak dan aspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif
adalah positivistik-instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak
atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan progam pemerintah.
c.
Cakupan
isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan
cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak oleh
lembaga eksekutif, sedangkan hukum konservatif memuat hal-hal yang pokok-pokok
dan ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat
penafsiran secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksanaan
(interpretatif).
Perubahan konfigurasi politik dari
otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter
produk hukum. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagan berikut ini.[19]
Variabel Bebas
|
Variabel Terpengaruh
|
|
Konfigurasi Politik
|
Karakter Produk Hukum
|
|
Demokratis
|
Responsif/Populistik
|
|
Otoriter
|
Konservatif/ Ortodoks/ Elitis
|
D.
Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum di Indonesia
Persoalan
hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multi disiplin ilmu
baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan
lain-lain.
Politik
dan hukum tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan. Dalam
kaitannya dengan hubungan keduanya, ada beberapa pendapat :[20]
a.
Menurut
Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan politik memang berjalan dalam
dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini saling mempengaruhi.
b.
Menurut
Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan pasangan. Politik membentuk
hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik.
Dari
kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik berhubungan sangat
erat dikarenakan:[21]
1.
Hukum
merupakan produk politik.
2.
Hukum
merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat mewujudkan kebijakannya.
3.
Jika
sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa
kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak
bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum
selalu berada pada posisi yang lemah.
Politik sangat menentukan bekerjanya hukum.[22]
Dikalangan
ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik
dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen
mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat,
termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan
melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi relevan. Tetapi kaum realis
pada sudut pandang das sein mengatakan bahwa “hukum selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakatnya”. Ini berarti hukum, mau tidak mau
menjadi independent variabel atas keadilan di luarnya, terutama keadaan
politiknya.[23]
Untuk
kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang
Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua
Undang-undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara
pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara Negara dan Agama yang
melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974
lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989
lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.[24]
Mahfud MD
mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang
mendasarinya, yaitu:[25]
1.
Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan
pengendali semua kegiatan politik.
2.
Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk
normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan
menjadi dipendent
variable atas politik.
3.
Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling
bergantung, seperti bunyi bahwa, “politik tanpa hukum menimbulkan
kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.
Di indonesia jika dilihat secara
realitanya maka akan cenderung bahwa politik determinan atas hukum. Seperti
yang telah diasumsikan penulis bahwasanya politiklah yang berperan aktif dalam
mengendalikan hukum. Dimana pada keadaan politik tertentu hukum yang dihasilkan
juga berjalan sesuai keadaan politik tersebut.
Maka hukum di pandang sebagai
dependent variabel (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakkan
sebagai independent variabel (variabel berpengaruh). Peletakan hukum
sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas
hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannnya
hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal imperatif)
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang
sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontesasi agar
kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam
keputusan politik dan menjadi UU. UU yang lahir dari kontesasi tersebut dengan
mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan politik.[26]
Berangkat dari
studi mengenai hubungan antara politik dan hukum kemudian lahir sebuah teori
“politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama,
pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi
hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum
yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat
dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum
difungsikan.[27]
Hukum menghadirkan
sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum.
Suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan
pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya.[28]
Studi teoritis tentang politik dan
produk hukum dilakukan secara lebih mendalam akan terbukti bahwa “aksioma”
tersebut berlaku pada produk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan
kekuasaan. Hubungan kausalitas yang yang perangkat teorinya menggunakan
dikotomi tentang sistem politik demokratis dan otoriter serta dikotomi antara
hukum responsif dan ortodoks/konservatif. Secara garis besar pencirian dan
pengukuran ata konsep-konsep tersebut dapat dilihat dalam identifikasi sebagai
berikut :[29]
Sistem Politik
|
Produk Hukum
|
||
Demokratis
|
Otoriter/Non demokratis
|
Responsif
|
Ortodoks/ Konservatif
|
Peranan
lembaga perwakilan rakyat menonjol ; berada pada posisi tidak di bawah
kekuatan politik pemerintah dan dapat menentukan garis politik nasional.
Kebebasan pers relatif terjamin dan partai-partai dapat aktif berperan
melalui lembaga perwakilan.
|
Lembaga
perwakilan secara praktis ada pada kondisi kalah kuat dari pengaruh politik
pemerintahan sehingga penentu agenda dan arah politik nasional lebih di
dominasi oleh pemerintah. Kehidupan pers berada di bawah bayang-bayang
kontrol ketat pemerintah. Hal yang sama terjadi pada partai-partai yang lebih
menjadi asesoris daripada demokrasi formal.
|
Pembuatannya
melalui proses yang partisipatif, menyerap aspirasi kelompok-kelompok sosial
dan individu-individu di dalam masyarakat serta melibatkan lembaga- lembaga
kenegaraan. Oleh karenanya ia menggambarkan muatan yang aspiratif dan hanya
memberikan space yang sempit bagi pemerintah untuk membuat
interpretasi.
|
Pembuatannya
lebih banyak di dominasi oleh lembaga-lembaga negara dan isinya lebih
bersifat “positivis instrumentalis” artinya menggambarkan visi dan kemauan
politik pemerintah. Materi muatannya banyak memberikan space kepada
pemerintah untuk membuat interpretasi melalui delegasi perundang-undangan dan
droit function.
|
Mengacu hal tersebut, maka sejarah
politik dan hukum di Indonesia di bagi dalam tiga periode yaitu periode
1945-1959, periode 1959-1966, dan periode 1966-sampai sekarang; sedangkan
produk-produk hukum diarahkan pada hukum-hukum publik. Hasil studi tersebut
memperlihatkan secara signifikan bahwa sistem politik yang demokrasi dapat
melahirkan hukum-hukum yang responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter
dan non demokratis melahirkan hukum-hukum yang memiliki karater
konservatif/ortodoks. Jadi, ada hubungan kausalitas antara politik dan hukum, dimana
hukum itu begitu dependent terhadap politik yang melahirkannya.[30]
Harus dipisahkan antara demokrasi
sebagai sistem politik dengan way of life masyarakat. Oleh karena
demokrasi adalah sistem tang memberi kebebasan dan partisipasi masyarakat, apa
yang tampil di publik sangat tergantung dari kecenderungan populasi. Demokrasi
adalah cara yang efektif untuk mengontrol operasi kekuasaan agar tidak
menghasilkan penyalahgunaan wewenang. Hal yang lazim jika pembela demokrasi
adalah lapisan masyarakat yang terdidik, sedangkan penentangnya adalah mereka
yang sedang mengendalikan pemerintahan.[31]
Hukum
sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara
adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan
kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan.
Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan
atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau
dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan
sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang
disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan
politik.
Memahami hukum Indonesia harus
dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang
pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai
sumber kekuatan berlakunya hukum.
Perubahan karakter produk hukum juga
terjadi secara tolak-tarik dengan senantiasa mengikuti konfigurasi politik yang
melatar belakanginya. Oleh karena itu, jika masyarakat mendambakan lahirnya
hukum-hukum yang berkarakter responsif,[32]
yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat. Maka yang lebih dulu diupayakan adalah menata kehidupan politiknya
agar menjadi demokratis. Sebab bagaimanapun juga hukum terus mengikuti arus
politik.
[1] Satya Arinanto
dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta
: Rajawali Press, 2009. Hlm. 8
[2] Ibid. Hlm. 7
[3] Affan Ghafar, Politik
Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.
Hlm. 354
[4] Op.cit. Satya
Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi Sampai
Implementasi,Hlm.10
[5] Lili Rasjidi
dan Wyasa Putra, Hukum Sebgai Suatu Sistem, Bandung : Mandar Maju, 2003.
Hlm. 172
[6] Soerjono
Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2013.
Hlm. 122
[7]
Moh. Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES. 1998. Hlm. 19
[8] Op.cit. Affan
Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2006. Hlm.118
[9] Moh. Mahfud
MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media,
1999. Hlm. 4
[10] Op.cit.Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 1
[11] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pres. 2010. Hlm. 9
[12] Daniel
Dhakidae, Sosiologi Politik, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Hlm. 31
[13] Zainuddin
Maliki, Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik, Yogyakarta
: Galang Press, 2004. Hlm. 8
[14] Ibid. Hlm. 9
[15] Op.cit.Moh. Mahfud MD,
Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Hlm. 72
[16] Ibid. Hlm. 74
[17] Ibid. Hlm.
292-294
[18] Ibid. Hlm.
294-295
[19]
Op.cit.Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 15
[21] Ibid.
[22] Op.cit.Moh.
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Hlm. 71
[23] Ibid.
[26] Loc.cit.Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 10
[27] http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12
[28] Imam Syaukani
dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jalarta : PT Grafindo
Persada, 2007. Hlm.5-6
[29] Op.cit.Moh.
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.. Hlm. 74-75
[30] Ibid. Hlm.76
[31] Denny J.A, Demokrasi
Indonesia : Visi dan Praktek, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2006. Hlm.
74-75
[32] Op.cit. Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar