Islam adalah agama besar di dunia dengan teologi yang sangat gemilang. Dalam yang relatif singkat Islam telah berkembang dengan sangat pesat. secara garis besar dapat disebutkan bahwa penyebaran agama Islam dari wilayah barat ke timur di seluruh Nusantara pada umumnya melalui jalur perdagangan. Pedagang-pedagang muslim Arab, Persia, dan juga India ada yang sampai ke Kepulauan Indonesia pada abad ke-7 M. Sedangkan Islam masuk ke Jawa sekitar abad ke-15.
Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapa pun yang
masuk. Orang Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerja sama dengan
siapa pun. Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran
dan kebudayaan Islam mengalir sangat deras dari Arab dan timur tengah sehingga
memberi warna yang sangat mendalam terhadap kebudayaan Jawa. Agama Islam telah
mengubah wajah dan kiblat orang Jawa yang semula mayoritas masyarakatnya
menganut ajaran Hindu- Budha. Namun, kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak
mau harus berakulturasi.
Yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam
di Jawa adalah Walisongo. Walisongo memiliki peranan yang cukup besar dalam
proses akulturasi Islam dan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya
kebudayaan sebagai media penyebaran Islam. Sehingga dengan hal ini agama Islam
akan mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Maka syariat Islam memperkaya dan
memperhalus dalam budaya Jawa.
Untuk yang selanjutnya dalam makalah ini,
pemakalah akan mengulas lebih lanjut mengenai masuknya Islam di Jawa serta pengaruhnya
terhadap kebudayaan Jawa dan masyarakatnya.
A. MASUKNYA ISLAM
DI JAWA
Sepeninggal Nabi Muhammad saw, agama Islam
lalu disiarkan oleh empat sahabat yang terkenal dengan sebutan khulafaur
Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian
Islam menyebar ke seluruh jazirah Arab dan daerah-daerah diluar jazirah Arab.
Maka, langsung bertemu dengan peradaban dan budaya lokal yang beragam yang
sudah ada selama berabad-abad.Namun dengan ajaran Islam yang telah tersebar ini
senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan peradaban dan kebudayaan
yang ada di daerah tersebut.
Orang Jawa telah mengenal agama sejak zaman
prahistori. Serat Ramayana yang
berasal dari abad ke-9, menunjukan bahwa orang Jawa kuno telah memeluk agama Hindu
dan Budha. Kedua agama tersebut sangat mewarnai dan menjadi jiwa dan ruhnya
bagi masyarakat Jawa secara hampir menyeluruh hingga abad ke-15.
1. Proses
Islamisasi di Jawa
Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam
datang ke Malaka, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini diyakini pada abad pertama
Hijriyah atau pada abad ke-7 M setelah timur tengah mengalami masa kenabian.
Sebagai bukti adalah adanya berita dari Cina yang mengisahkan kedatangan utusan
Raja TaCheh kepada Ratu Sima. Adapun Raja TaCheh menurut Hamka, adalah Raja
Arab yang hidup bersamaan dengan khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan. Peristiwa
itu terjadi pada saat Muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada Islam.
Proses Islamisasi di Jawa sudah berlangsung
sejak abad ke-11 M, meskipun belum meluas,
terbukti dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik
yang berangka tahun 475 H (1082 M).
Pada sekitar abad ke-11 dan 12 M berita mengenai Islam di Jawa memang masih sangat langka, akan tetapi sejak akhir
abad ke-13 M dan abad-abad selanjutnya, terutama ketika Majapahit mencapai
puncak kebesarannya, bukti-bukti adanya proses Islamisasi sudah banyak, dengan
ditemukannya beberapa puluh batu nisan kubur.
Dari segi alur pengislaman di Jawa, maka dapat
diketahui bahwa wilayah Jawa timur terlebih dahulu menerima Islam. wilayah itu
antara lain Trowulan, Gresik, Tuban, Ampel, dan lingkungan istana Majapahit.
Adapun wilayah Jawa tengah yang terlebih dulu menerima Islam adalah Jepara,
Kudus, dan daerah alas Roban Batang. Jepara dan Kudus melalui tokoh Raden
Rahmat, sedangkan alas Roban atau Batang melalui perjalanan Raden Patah.
Islam di Jawa semakin meluas lagi seiring
dengan para ulama yang selalu giat menyebarkan agama ini. Secara politis,
mereka mendapat restu dari prabu Brawijaya, penguasa Majapahit kala itu. Bahkan
di sekitar ibukota Kerajaan adidaya di Nusantara, telah banyak yang mulai masuk
agama Islam, baik dari kalangan pendatang maupun penduduk asli.
Perkembangan Islam di Pulau Jawa bersamaan
dengan melemahnya Kerajaan Majapahit. Hal itu memberikan kesempatan bagi para
pembawa ajaran Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang
independen. Di bawah bimbingan spiritual sunan Kudus, meskipun bukan yang
tertua dari Walisongo. Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai
keraton Pusat.
Runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518) dan
berdirinya kerajaan Jawa-Islam Demak menjadikan agama Islam subur di kalangan
istana, menjadi bagian hidup para priyayi dan cendekiawan Jawa. Hubungan antara
para cendekiawan Jawa dengan Ulama juga terjalin dengan baik, mengakibatkan
terjadinya interaksi antara Islam dengan sastra dan budaya istana. Para
pujangga bertindak aktif, mengolah antara unsur-unsur kejawen dengan ajaran
Islam. Zaman ini disebut sebagai zaman peralihan, yakni peralihan dari zaman Kebudhan
(tradisi Hindu-Budha) ke zaman Kawalen (Islam).
Islam masuk di Jawa secara akulturasi damai.
Menurut beberapa sejarawan, hal ini karena: pertama, para pendakwah
Islam yang datang mula-mula adalah para santri, ulama, pedagang dan para ahli
sufi, bukan dari prajurit-prajurit perang. Mereka mendakwahkan ajaran Islam
secara baik-baik tanpa adanya kekerasan. Kedua, sifat tenggang rasa dari
orang Jawa sendiri yang mudah menerima semua yang datang dari luar dan dianggap
baik, lalu disesuaikan dengan prinsip dan kebudayaan sendiri. Ketiga,
melalui jalan perkawinan dan para pemeluk Islam memberikan tauladan kepada
masyarakat sehingga mudah dalam mendapatkan pengikut dan agama Islam tersebar
dengan damai.
2. Peran Walisongo
dalam Penyebaran Agama Islam
Berbicara tentang sasaran dakwah yang
dilakukan oleh Walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa, yang pertama tama
adalah Raden Rahmat atau sunan Ampel. Dalam kisah-kisah Tradisional dituturkan
bahwa ketika Raden Rahmat berusia 20 tahun, ia dikirim oleh ayahnya dari Campa
untuk pergi ke pulau Jawa menemui bibinya yang ketika itu menjadi permaisuri
Raja Majapahit ke-7, yaitu Sri kertawijaya (Brawijaya III).
Walisongo atau sembilan wali, dikenal sebagai
penyebar agama Islam di Jawa dan penyokong utama berdirinya Kerajaan Demak
Bintara yang dipimpin Raden Patah. Kesembilan wali itu tinggal di tiga wilayah
strategis di pesisir utara pulau Jawa. Yaitu Surabaya, Gresik, Tuban untuk
wilayah Jawa Timur. Demak, Kudus, Muria untuk Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa
Barat. Era walisongo dapat dibilang sebagai masa berakhirnya dominasi Hindu
Budha di Nusantara dan kemudian digantikan oleh Islam. Kesembilan wali tersebut
adalah:
1. Raden Rahmat atau Sunan Ampel
Raden Rahmat
konon merupakan keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad saw. Sesepuh para wali Jawa
ini, pesantrennya bertempat di AmpelDenta, Surabaya, yang merupakan pusat
penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
2. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Maulana Malik
Ibrahim yang dikenal dengan sunan Gresik atau Sunan Tandhes atau Mursyid Akbar
ThariqatWalisongo, konon juga merupakan keturunan ke-22 Nabi Muhammad saw. Ia
diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah pada paruh awal abad ke-14
Masehi.
3. Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang
Makhdum Ibrahim
atau Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel. Dalam mendakwahkan Islam, Ia lebih
banyak mengambil jalur Kesenian. Suluk wujildan tembang tomboati
yang sampai hari ini masih banyak dinyanyikan oleh orang konon adalah
gubahannya. Pembaharuan sunan Bonang dalam gamelan Jawa adalah dengan
menambahkan rebab dan bonang yang sering dihubungkan dengan namanya.
4. Raden Qasim atau Sunan Drajat
Raden Qasim yang
dikenal dengan Sunan Drajat juga merupakan putra Sunan Ampel. Dalam berdakwah,
Sunan Drajat lebih menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai
wilayah pendidikan di Desa Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Tembang
Macapat, Pangkur diyakini sebagai peninggalan Sunan Drajat. Gamelan
Singomengkok yang kini masih tersimpan di Museum Lamongan juga diyakini sebagai
warisannya.
5. Ja’farShadiq atau Sunan Kudus
Ja’farShadiq
yang dikenal sebagai Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung. Sunan kudus
memiliki peran yang cukup besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak karena
bertindak sebagai panglima perang. Murid-murid sunan Kudus banyak yang berasal
dari kalangan bangsawan, di antaranya Sunan Prawoto dan AriaPinangsang.
Peninggalan sunan Kudus yang sangat terkenal dan masih terawat baik hingga saat
ini, serta dijadikan simbol Kota Kudus adalah sebuah masjid yang di depannya
terdapat sebuah arsitektur yang bercorak campuran Hindu-Islam yang lebih
terkenal dengan sebutan Menara Kudus.
6. Ainul Yakin atau Raden Paku atau Sunan Giri
Ia merupakan
murid sunan Ampel yang mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedathon, Gresik,
yang selanjutnya menjadi pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Nusantara
bagian timur.
7. Raden Said atau Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
merupakan murid sunan Bonang. Sebagaimana gurunya yang berdakwah melalui jalur
Kesenian dan kebudayaan. Kesenian wayang kulit dan beberapa tembang suluk
di nisbatkan padanya. Yang paling populer di masyarakat adalah tembang suluk
lir-ilirdan gundul gundul pacul .
8. Raden Umar Said atau Sunan Muria
Raden Umar Said
atau Sunan Muria adalah putra sunan Kalijaga. Dalam berdakwah beliau mengikuti
tata cara sunan Kalijaga, dengan metode tidak menentang budaya yang ada, namun
mewarnainya dengan ajaran-ajaran Islam.
9. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung
jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Demikian para wali sembilan yang sangat
berpengaruh besar terhadap penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Dan masa di
mana peradaban Hindu-Budha yang awalnya mendominasi, kini telah berganti dengan
agama Islam.
3. Periodisasi
Islam Kejawen
Dalam menyiarkan dan menyebarkan agama Islam
di Jawa terdapat empat periode bersejarah, yaitu sebagai berikut :
1. Periode Gresik : dipelopori oleh Sunan Giri
dan keturunannya. Pada periode ini hanya menyampaikan ajaran-ajaran Islam
kepada masyarakat bawah dan pesisiran, pembentukan kader-kader dakwah dan
membangun pesantren. Akhir dari periode Gresik ini adalah Prabu Brawijaya V
raja Majapahit yang masuk Islam atas anjuran dari Sunan Kalijaga. Hal ini
membawa pengaruh besar terhadap pengislaman di Jawa.
2. Periode Demak : diprakarsai oleh Kesultanan
Demak Bintoro. Lapangan perjuangan telah meningkat ke politik dan militer.
Usaha Kesultanan Demak ini kemudian dilanjutkan oleh pewarisnya Kesultanan
Pajang. Islam kejawen mendapat perlindungan dan berkembang dengan pesat. Islam
fundamentalis berkembang di pesantren, seperti di Kudus.
3. Periode Pajang-Mataram : diprakarsai oleh Kesultanan
Pajang dan Mataram. Pada masa ini mulai muncul aliran-aliran baru di tubuh umat
Islam Jawa. KewalianGiri telah melahirkan baru yang merintis pendirian pondok
Pesantren di daerahnya, seperti Ponorogo dan Madura.
4. Periode Mutakhir : dalam periode ini, pulau
Jawa berada dalam cengkeraman Hindia Belanda. Orang-orang dari dunia barat
mulai berdatangan dan melakukan praktek perdagangan yang tidak adil.
Orang-orang Islam bergolak, namun karena tidak mempunyai kekuatan riil maka
dapat dipatahkan. Perlawanan yang paling keras dilakukan oleh Pangeran
Diponegoro yang hampir melibatkan seluruh Jawa tengah dan Jawa Timur pada tahun
1825-1830.
B. PENGARUH AGAMA
ISLAM TERHADAP BUDAYA JAWA
1. Kejawen dalam
mitologi
Secara umum,
para pendeta menyepakatkan bahwa kejawen adalah suatu kepercayaan
tentang pandangan hidup yang diwariskan oleh para Leluhur Tanah Jawa. Tapi ada pula yang menyebutkan kejawen itu adalah sebuah Agama (Agama Jawi),
namun hal itu banyak dikritik oleh para peneliti setelahnya yang menganggap
bahwa pendapat itu sangat tidak tepat. Karena memang, sesungguhnya Kejawen
bukan merupakan sebuah agama.
Jika sebagian penghayat Kejawen ada yang
menganggap Kejawen adalah adalah sebuah agama, yaitu Agama Jawi, maka
pengertian agama dalam hal ini bukanlah pengertian agama dalam arti sempit
seperti Agama Islam atau Agama Kristen. Karena ajaran-ajaran yang ada dalam
Kejawen memang tidak terpaku pada aturan-aturan yang ketat seperti halnya dalam
ajaran Agama Islam atau Agama Kristen. Kejawen lebih merupakan seperangkat
pandangan hidup yang dibarengi dengan sejumlahlaku yang menitik beratkan pada
keseimbangan, keselarasan, antara sesuatu yang lahir dan yang batin.
Kejawen merupakan kebudayaan kuno leluhur
tanah Jawa yang berpadu dengan nilai-nilai spiritual berbagai agama dan
kepercayaan yang datang kemudian seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik.
Seperti pada umumnya masyarakat Tradisional di
dunia orang-orang Jawa juga cenderung dengan berbagai hal-hal yang bersifat
mistik. Bahkan mistik di Jawa telah merasuk kuat di dalam sendi-sendi budaya,
adat istiadat, agama dan Ilmu pengetahuan. Hingga tidak sepenuhnya salah ketika
para ahli dan peneliti menganggap masyarakat Jawa, khususnya para penghayat
Kejawen sebagai masyarakat mistis.
Dalam pandangan hidup Islam, manusia berada di
atas organisme lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan filsafat Jawa atau Kejawen,
yang menempatkan manusia pada “akar pohon kehidupan”. Kejawen mengajarkan
supaya manusia melihat dirinya di antara semua yang ada di sekitarnya, misalnya
: gunung, hutan, lautan, dan sebagainya. Semua ini dianggap keramat, karena
semua hal-hal inilah yang mereka anggap memberi manusia semua yang di perlukan
untuk hidup, dengan kata lain memberi mereka hidup. Dalam
Islam kedudukan manusia ada dia atas makhluk lainnya. Ini berarti bumi
dianugerahkan kepada manusia.
2. Meresapnya
Islam pada Masyarakat Jawa
Komunitas Nusantara yang yang terbiasa dengan
tradisi mistik Hindu Budha relatif lebih mudah mengadopsi Islam Sufistik ini
dibandingkan dengan Islam Puritan. Banyak kemiripan antara tradisi mistik Hindu
Budha dan Sufi, kedekatan ini kemudian mempermudah kalangan Istana untuk
mengadopsi Islam dan mengolahnya dengan tradisi lama. Pada saat Islam datang ke
Indonesia sufisme sedang mengalami kejayaan. Akibatnya Islam yang kemudian
datang ke Indonesia juga tidak dapat terlepas dari pengaruhnya.
Hazim Amir mengatakan bahwa kepercayaan Islam
tidak mengenal Trimurti dan sistem dewa-dewa yang banyak. Maka kemudian para Walisongo
mengubah sistem hierarki kedewaan yang menempatkan dewa-dewa itu sebagai
pelaksana perintah Tuhan saja dan bukan sebagai Tuhan. Juga disusunlah
cerita-cerita baru yang bernafaskan ke-Islaman seperti Dewaruci, jimat
kalimasada, dan Bima suci. Dengan jalan seperi ini, maka Islam menyebar
dikawasan Nusantara secara halus dan berlangsung dengan damai.
Adab sopan santun yang bersumber yang bersumber
pada syariat Islam, dipadukan dengan tata krama yang dipadukan dengan tradisi
yang bersumber dari tradisi Jawa, namun ada pula yang tidak dapat dipadukan,
seperti halnya dalam keyakinan Tauhid dan pemujaan arwah leluhur. Mengenai
masalah keimanan pada Tuhan, pengaruh pendidikan pesantren tampak lebih kuat
dibanding pengaruh lingkungan keraton.
3. Perpaduan Islam
dan Budaya Jawa
Islam lebih dilihat secara subtantif, maka
konsentrasinya lebih ke arah bagaimana cara ajaran itu bisa dikenal, diserap,
dan dijadikan acuan tindakan dalam kehidupan masyarakat. Meresapnya Islam
dengan berbagai peradaban lokal memungkinkan lahirnya berbagai corak keislaman.
Pertama, antara peradaban Islam dan peradaban lokal saling menyerap sekaligus
saling menafikan; kedua, peradaban Islam menjadi fondasi bagi peradaban
masyarakat; dan ketiga peradaban lokal mendominasi budaya masyarakat.
Persentuhan Islam dengan budaya lokal Jawa memunculkan dua corak dalam
keislaman orang Jawa, yaitu Islam santri dan Islam kejawen. Keduanya sama tapi
berbeda. Sama karena mengakui agama Islam sebagai agama mereka, tetapi berbeda
karena cara menempatkan Islam dan sikap, serta tindakan keagamaan yang tidak
sama. Pada orang Islam santri menempatkan ajaran Islam (Al-Qur’an dan
Al-Hadist) sebagai nilai dominan. Sementara bagi orang Islam kejawen peradaban
Jawa ditempatkan lebih dominan, sedang ajaran dipilih secara selektif untuk
melengkapi peradaban Jawa tersebut.
Ada beberapa hal yang dinyatakan sebagai
asumsi mengenai perbandingan budaya Islam dengan budaya Jawa. Yaitu sebagai
berikut ;
Pertama, agama Islam dikenalkan melalui paham
paham sufistik oleh penyiar dan pedagang awal mulanya kepada masyarakat biasa.
Lalu mulai berkembang lebih lanjut. Dalam ajaran sufistik itu, manusia memiliki
derajat yang sama dan hanya dibedakan oleh tingkat ketakwaannya. Sedang dalam
kebudayaan Jawa, manusia dipandang secara hierarki, atas bawah, tinggi rendah,
dilihat dari asal usul keturunan, pangkat, dsb. Paham sufistik ini kemudian
direduksi olah para pemeluknya, ditarik ke jalur lembaga lembaga tarekat.
Akibatnya ketakwaan yang semula merupakan kata sifat menjadi kata benda
(personalisasi), sehingga muncul anggapan yang lebih takwa adalah kyai atau
ulama’.
Kedua, ketika hubungan manusia diletakkan
dalam hierarki. Maka demokratisasi dan keterbukaan tidak akan mendapat ruang yang
lebar. Nilai-nilai budaya Islam yang mengajarkan “hormatilah yang tua dan
sayangilah yang muda”, dalam realitas sosial umumnya berubah menjadi,
“patuhilah yang tua dan proteksilah yang tua”.
Ketiga, dengan landasan kerangka pandang yang
hierarkis tadi, peradaban Islam yang
menekankan ketegasan, “qullilhaqqokanamurra.....dst. nilai-nilai
ini baru menjadi wacana sekalipun untuk orang Islam, karena dalam kebudayaan
Jawa kepura-puraan itu menjadi bagian dari terpeliharanya keselarasan hidup.
Dari beberapa asumsi diatas, maka dapat
dilihat sebagaimana besar perpaduan yang dihasilkan dari ajaran Islam dengan
kebudayaan Jawa yang ada. Dan perbandingan yang dihasilkan dari ajaran Islam
dan Budaya Jawa.
REFERENSI
REFERENSI
- Sutrisno,Budi Hadi..Islam Kejawen.Yogyakarta
:EULE BOOK.2009.
- Yatim,BadriSejarah
Peradaban Islam,Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008
- Amin,M. Darori.Islam
dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta :Gama Media 2000.
- Sofwan,Ridin.dkk,Islamisasi
di Jawa,Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2000.
- Fikriono,Muhaji.Puncak
Makrifat Jawa,Jakarta :NouraBooks, 2012.
- Sumukti, Tuti.Semar:Dunia
Batin Orang Jawa,Yogyakarta : PT. Agromedia Pustaka, 2006.
- Astiyanto, Henny.Filsafat
Jawa,.Yogyakarta : Warta Pustaka, 2006.
- Suhandjati,
SukriSri.Ijtihad Progresif Yasadipura II dalam akulturasi Islam engan Budaya
Jawa,Yogyakarta :Gama Media, 2004.
- Thohir,Mudahirin
.Memahami Kebudayaan,Semarang :Fassindo Press, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar