Senin, 05 Januari 2015

MASUKNYA ISLAM DI JAWA DAN PENGARUHNYA



Islam adalah agama besar di dunia dengan teologi yang sangat gemilang. Dalam yang relatif singkat Islam telah berkembang dengan sangat pesat. secara garis besar dapat disebutkan bahwa penyebaran agama Islam dari wilayah barat ke timur di seluruh Nusantara pada umumnya melalui jalur perdagangan. Pedagang-pedagang muslim Arab, Persia, dan juga India ada yang sampai ke Kepulauan Indonesia pada abad ke-7 M. Sedangkan Islam masuk ke Jawa sekitar abad ke-15.

Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapa pun yang masuk. Orang Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerja sama dengan siapa pun. Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan Islam mengalir sangat deras dari Arab dan timur tengah sehingga memberi warna yang sangat mendalam terhadap kebudayaan Jawa. Agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa yang semula mayoritas masyarakatnya menganut ajaran Hindu- Budha. Namun, kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak mau harus berakulturasi.
Yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa adalah Walisongo. Walisongo memiliki peranan yang cukup besar dalam proses akulturasi Islam dan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya kebudayaan sebagai media penyebaran Islam. Sehingga dengan hal ini agama Islam akan mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Maka syariat Islam memperkaya dan memperhalus dalam budaya Jawa.
Untuk yang selanjutnya dalam makalah ini, pemakalah akan mengulas lebih lanjut mengenai masuknya Islam di Jawa serta pengaruhnya terhadap kebudayaan Jawa dan masyarakatnya.

A.    MASUKNYA ISLAM DI  JAWA
Sepeninggal Nabi Muhammad saw, agama Islam lalu disiarkan oleh empat sahabat yang terkenal dengan sebutan khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian Islam menyebar ke seluruh jazirah Arab dan daerah-daerah diluar jazirah Arab. Maka, langsung bertemu dengan peradaban dan budaya lokal yang beragam yang sudah ada selama berabad-abad.Namun dengan ajaran Islam yang telah tersebar ini senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan peradaban dan kebudayaan yang ada di daerah tersebut.
Orang Jawa telah mengenal agama sejak zaman prahistori. Serat Ramayana  yang berasal dari abad ke-9, menunjukan bahwa orang Jawa kuno telah memeluk agama Hindu dan Budha. Kedua agama tersebut sangat mewarnai dan menjadi jiwa dan ruhnya bagi masyarakat Jawa secara hampir menyeluruh hingga abad ke-15.
1.      Proses Islamisasi di Jawa
Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini diyakini pada abad pertama Hijriyah atau pada abad ke-7 M setelah timur tengah mengalami masa kenabian. Sebagai bukti adalah adanya berita dari Cina yang mengisahkan kedatangan utusan Raja TaCheh kepada Ratu Sima. Adapun Raja TaCheh menurut Hamka, adalah Raja Arab yang hidup bersamaan dengan khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan. Peristiwa itu terjadi pada saat Muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada Islam.
Proses Islamisasi di Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-11 M, meskipun belum meluas,  terbukti dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M). Pada sekitar abad ke-11 dan 12 M berita mengenai Islam di Jawa memang  masih sangat langka, akan tetapi sejak akhir abad ke-13 M dan abad-abad selanjutnya, terutama ketika Majapahit mencapai puncak kebesarannya, bukti-bukti adanya proses Islamisasi sudah banyak, dengan ditemukannya beberapa puluh batu nisan kubur.
Dari segi alur pengislaman di Jawa, maka dapat diketahui bahwa wilayah Jawa timur terlebih dahulu menerima Islam. wilayah itu antara lain Trowulan, Gresik, Tuban, Ampel, dan lingkungan istana Majapahit. Adapun wilayah Jawa tengah yang terlebih dulu menerima Islam adalah Jepara, Kudus, dan daerah alas Roban Batang. Jepara dan Kudus melalui tokoh Raden Rahmat, sedangkan alas Roban atau Batang melalui perjalanan Raden Patah.
Islam di Jawa semakin meluas lagi seiring dengan para ulama yang selalu giat menyebarkan agama ini. Secara politis, mereka mendapat restu dari prabu Brawijaya, penguasa Majapahit kala itu. Bahkan di sekitar ibukota Kerajaan adidaya di Nusantara, telah banyak yang mulai masuk agama Islam, baik dari kalangan pendatang maupun penduduk asli.
Perkembangan Islam di Pulau Jawa bersamaan dengan melemahnya Kerajaan Majapahit. Hal itu memberikan kesempatan bagi para pembawa ajaran Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah bimbingan spiritual sunan Kudus, meskipun bukan yang tertua dari Walisongo. Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai keraton Pusat.
Runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518) dan berdirinya kerajaan Jawa-Islam Demak menjadikan agama Islam subur di kalangan istana, menjadi bagian hidup para priyayi dan cendekiawan Jawa. Hubungan antara para cendekiawan Jawa dengan Ulama juga terjalin dengan baik, mengakibatkan terjadinya interaksi antara Islam dengan sastra dan budaya istana. Para pujangga bertindak aktif, mengolah antara unsur-unsur kejawen dengan ajaran Islam. Zaman ini disebut sebagai zaman peralihan, yakni peralihan dari zaman Kebudhan (tradisi Hindu-Budha) ke zaman Kawalen (Islam).
Islam masuk di Jawa secara akulturasi damai. Menurut beberapa sejarawan, hal ini karena: pertama, para pendakwah Islam yang datang mula-mula adalah para santri, ulama, pedagang dan para ahli sufi, bukan dari prajurit-prajurit perang. Mereka mendakwahkan ajaran Islam secara baik-baik tanpa adanya kekerasan. Kedua, sifat tenggang rasa dari orang Jawa sendiri yang mudah menerima semua yang datang dari luar dan dianggap baik, lalu disesuaikan dengan prinsip dan kebudayaan sendiri. Ketiga, melalui jalan perkawinan dan para pemeluk Islam memberikan tauladan kepada masyarakat sehingga mudah dalam mendapatkan pengikut dan agama Islam tersebar dengan damai.
2.      Peran Walisongo dalam Penyebaran Agama Islam
Berbicara tentang sasaran dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa, yang pertama tama adalah Raden Rahmat atau sunan Ampel. Dalam kisah-kisah Tradisional dituturkan bahwa ketika Raden Rahmat berusia 20 tahun, ia dikirim oleh ayahnya dari Campa untuk pergi ke pulau Jawa menemui bibinya yang ketika itu menjadi permaisuri Raja Majapahit ke-7, yaitu Sri kertawijaya (Brawijaya III).
Walisongo atau sembilan wali, dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa dan penyokong utama berdirinya Kerajaan Demak Bintara yang dipimpin Raden Patah. Kesembilan wali itu tinggal di tiga wilayah strategis di pesisir utara pulau Jawa. Yaitu Surabaya, Gresik, Tuban untuk wilayah Jawa Timur. Demak, Kudus, Muria untuk Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era walisongo dapat dibilang sebagai masa berakhirnya dominasi Hindu Budha di Nusantara dan kemudian digantikan oleh Islam. Kesembilan wali tersebut adalah:
1.      Raden Rahmat atau Sunan Ampel
Raden Rahmat konon merupakan keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad saw. Sesepuh para wali Jawa ini, pesantrennya bertempat di AmpelDenta, Surabaya, yang merupakan pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
2.      Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Maulana Malik Ibrahim yang dikenal dengan sunan Gresik atau Sunan Tandhes atau Mursyid Akbar ThariqatWalisongo, konon juga merupakan keturunan ke-22 Nabi Muhammad saw. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah pada paruh awal abad ke-14 Masehi.
3.      Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang
Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel. Dalam mendakwahkan Islam, Ia lebih banyak mengambil jalur Kesenian. Suluk wujildan tembang tomboati yang sampai hari ini masih banyak dinyanyikan oleh orang konon adalah gubahannya. Pembaharuan sunan Bonang dalam gamelan Jawa adalah dengan menambahkan rebab dan bonang yang sering dihubungkan  dengan namanya.
4.      Raden Qasim atau Sunan Drajat
Raden Qasim yang dikenal dengan Sunan Drajat juga merupakan putra Sunan Ampel. Dalam berdakwah, Sunan Drajat lebih menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah pendidikan di Desa Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Tembang Macapat, Pangkur diyakini sebagai peninggalan Sunan Drajat. Gamelan Singomengkok yang kini masih tersimpan di Museum Lamongan juga diyakini sebagai warisannya.
5.      Ja’farShadiq atau Sunan Kudus
Ja’farShadiq yang dikenal sebagai Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung. Sunan kudus memiliki peran yang cukup besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak karena bertindak sebagai panglima perang. Murid-murid sunan Kudus banyak yang berasal dari kalangan bangsawan, di antaranya Sunan Prawoto dan AriaPinangsang. Peninggalan sunan Kudus yang sangat terkenal dan masih terawat baik hingga saat ini, serta dijadikan simbol Kota Kudus adalah sebuah masjid yang di depannya terdapat sebuah arsitektur yang bercorak campuran Hindu-Islam yang lebih terkenal dengan sebutan Menara Kudus.
6.      Ainul Yakin atau Raden Paku atau Sunan Giri
Ia merupakan murid sunan Ampel yang mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedathon, Gresik, yang selanjutnya menjadi pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Nusantara bagian timur.
7.      Raden Said atau Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan murid sunan Bonang. Sebagaimana gurunya yang berdakwah melalui jalur Kesenian dan kebudayaan. Kesenian wayang kulit dan beberapa tembang suluk di nisbatkan padanya. Yang paling populer di masyarakat adalah tembang suluk lir-ilirdan gundul gundul pacul .
8.      Raden Umar Said atau Sunan Muria
Raden Umar Said atau Sunan Muria adalah putra sunan Kalijaga. Dalam berdakwah beliau mengikuti tata cara sunan Kalijaga, dengan metode tidak menentang budaya yang ada, namun mewarnainya dengan ajaran-ajaran Islam.                                                                     
9.      Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Demikian para wali sembilan yang sangat berpengaruh besar terhadap penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Dan masa di mana peradaban Hindu-Budha yang awalnya mendominasi, kini telah berganti dengan agama Islam.
3.      Periodisasi Islam Kejawen
Dalam menyiarkan dan menyebarkan agama Islam di Jawa terdapat empat periode bersejarah, yaitu sebagai berikut :
1.      Periode Gresik : dipelopori oleh Sunan Giri dan keturunannya. Pada periode ini hanya menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat bawah dan pesisiran, pembentukan kader-kader dakwah dan membangun pesantren. Akhir dari periode Gresik ini adalah Prabu Brawijaya V raja Majapahit yang masuk Islam atas anjuran dari Sunan Kalijaga. Hal ini membawa pengaruh besar terhadap pengislaman di Jawa.
2.      Periode Demak : diprakarsai oleh Kesultanan Demak Bintoro. Lapangan perjuangan telah meningkat ke politik dan militer. Usaha Kesultanan Demak ini kemudian dilanjutkan oleh pewarisnya Kesultanan Pajang. Islam kejawen mendapat perlindungan dan berkembang dengan pesat. Islam fundamentalis berkembang di pesantren, seperti di Kudus.
3.      Periode Pajang-Mataram : diprakarsai oleh Kesultanan Pajang dan Mataram. Pada masa ini mulai muncul aliran-aliran baru di tubuh umat Islam Jawa. KewalianGiri telah melahirkan baru yang merintis pendirian pondok Pesantren di daerahnya, seperti Ponorogo dan Madura.
4.      Periode Mutakhir : dalam periode ini, pulau Jawa berada dalam cengkeraman Hindia Belanda. Orang-orang dari dunia barat mulai berdatangan dan melakukan praktek perdagangan yang tidak adil. Orang-orang Islam bergolak, namun karena tidak mempunyai kekuatan riil maka dapat dipatahkan. Perlawanan yang paling keras dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang hampir melibatkan seluruh Jawa tengah dan Jawa Timur pada tahun 1825-1830.

B.     PENGARUH AGAMA ISLAM TERHADAP BUDAYA JAWA

1.      Kejawen dalam mitologi
Secara umum,  para pendeta menyepakatkan bahwa kejawen adalah suatu kepercayaan tentang pandangan hidup yang diwariskan oleh para Leluhur Tanah Jawa. Tapi ada pula yang menyebutkan kejawen itu adalah sebuah Agama (Agama Jawi), namun hal itu banyak dikritik oleh para peneliti setelahnya yang menganggap bahwa pendapat itu sangat tidak tepat. Karena memang, sesungguhnya Kejawen bukan merupakan sebuah agama.
Jika sebagian penghayat Kejawen ada yang menganggap Kejawen adalah adalah sebuah agama, yaitu Agama Jawi, maka pengertian agama dalam hal ini bukanlah pengertian agama dalam arti sempit seperti Agama Islam atau Agama Kristen. Karena ajaran-ajaran yang ada dalam Kejawen memang tidak terpaku pada aturan-aturan yang ketat seperti halnya dalam ajaran Agama Islam atau Agama Kristen. Kejawen lebih merupakan seperangkat pandangan hidup yang dibarengi dengan sejumlahlaku yang menitik beratkan pada keseimbangan, keselarasan, antara sesuatu yang lahir dan yang batin.
Kejawen merupakan kebudayaan kuno leluhur tanah Jawa yang berpadu dengan nilai-nilai spiritual berbagai agama dan kepercayaan yang datang kemudian seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik.
Seperti pada umumnya masyarakat Tradisional di dunia orang-orang Jawa juga cenderung dengan berbagai hal-hal yang bersifat mistik. Bahkan mistik di Jawa telah merasuk kuat di dalam sendi-sendi budaya, adat istiadat, agama dan Ilmu pengetahuan. Hingga tidak sepenuhnya salah ketika para ahli dan peneliti menganggap masyarakat Jawa, khususnya para penghayat Kejawen sebagai masyarakat mistis.
Dalam pandangan hidup Islam, manusia berada di atas organisme lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan filsafat Jawa atau Kejawen, yang menempatkan manusia pada “akar pohon kehidupan”. Kejawen mengajarkan supaya manusia melihat dirinya di antara semua yang ada di sekitarnya, misalnya : gunung, hutan, lautan, dan sebagainya. Semua ini dianggap keramat, karena semua hal-hal inilah yang mereka anggap memberi manusia semua yang di perlukan untuk hidup, dengan kata lain memberi mereka hidup. Dalam Islam kedudukan manusia ada dia atas makhluk lainnya. Ini berarti bumi dianugerahkan kepada manusia.
2.      Meresapnya Islam pada Masyarakat Jawa
Komunitas Nusantara yang yang terbiasa dengan tradisi mistik Hindu Budha relatif lebih mudah mengadopsi Islam Sufistik ini dibandingkan dengan Islam Puritan. Banyak kemiripan antara tradisi mistik Hindu Budha dan Sufi, kedekatan ini kemudian mempermudah kalangan Istana untuk mengadopsi Islam dan mengolahnya dengan tradisi lama. Pada saat Islam datang ke Indonesia sufisme sedang mengalami kejayaan. Akibatnya Islam yang kemudian datang ke Indonesia juga tidak dapat terlepas dari pengaruhnya.
Hazim Amir mengatakan bahwa kepercayaan Islam tidak mengenal Trimurti dan sistem dewa-dewa yang banyak. Maka kemudian para Walisongo mengubah sistem hierarki kedewaan yang menempatkan dewa-dewa itu sebagai pelaksana perintah Tuhan saja dan bukan sebagai Tuhan. Juga disusunlah cerita-cerita baru yang bernafaskan ke-Islaman seperti Dewaruci, jimat kalimasada, dan Bima suci. Dengan jalan seperi ini, maka Islam menyebar dikawasan Nusantara secara halus dan berlangsung dengan damai.
Adab sopan santun yang bersumber yang bersumber pada syariat Islam, dipadukan dengan tata krama yang dipadukan dengan tradisi yang bersumber dari tradisi Jawa, namun ada pula yang tidak dapat dipadukan, seperti halnya dalam keyakinan Tauhid dan pemujaan arwah leluhur. Mengenai masalah keimanan pada Tuhan, pengaruh pendidikan pesantren tampak lebih kuat dibanding pengaruh lingkungan keraton.
3.      Perpaduan Islam dan Budaya Jawa
Islam lebih dilihat secara subtantif, maka konsentrasinya lebih ke arah bagaimana cara ajaran itu bisa dikenal, diserap, dan dijadikan acuan tindakan dalam kehidupan masyarakat. Meresapnya Islam dengan berbagai peradaban lokal memungkinkan lahirnya berbagai corak keislaman. Pertama, antara peradaban Islam dan peradaban lokal saling menyerap sekaligus saling menafikan; kedua, peradaban Islam menjadi fondasi bagi peradaban masyarakat; dan ketiga peradaban lokal mendominasi budaya masyarakat. Persentuhan Islam dengan budaya lokal Jawa memunculkan dua corak dalam keislaman orang Jawa, yaitu Islam santri dan Islam kejawen. Keduanya sama tapi berbeda. Sama karena mengakui agama Islam sebagai agama mereka, tetapi berbeda karena cara menempatkan Islam dan sikap, serta tindakan keagamaan yang tidak sama. Pada orang Islam santri menempatkan ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadist) sebagai nilai dominan. Sementara bagi orang Islam kejawen peradaban Jawa ditempatkan lebih dominan, sedang ajaran dipilih secara selektif untuk melengkapi peradaban Jawa tersebut.
Ada beberapa hal yang dinyatakan sebagai asumsi mengenai perbandingan budaya Islam dengan budaya Jawa. Yaitu sebagai berikut ;
Pertama, agama Islam dikenalkan melalui paham paham sufistik oleh penyiar dan pedagang awal mulanya kepada masyarakat biasa. Lalu mulai berkembang lebih lanjut. Dalam ajaran sufistik itu, manusia memiliki derajat yang sama dan hanya dibedakan oleh tingkat ketakwaannya. Sedang dalam kebudayaan Jawa, manusia dipandang secara hierarki, atas bawah, tinggi rendah, dilihat dari asal usul keturunan, pangkat, dsb. Paham sufistik ini kemudian direduksi olah para pemeluknya, ditarik ke jalur lembaga lembaga tarekat. Akibatnya ketakwaan yang semula merupakan kata sifat menjadi kata benda (personalisasi), sehingga muncul anggapan yang lebih takwa adalah kyai atau ulama’.
Kedua, ketika hubungan manusia diletakkan dalam hierarki. Maka demokratisasi dan keterbukaan tidak akan mendapat ruang yang lebar. Nilai-nilai budaya Islam yang mengajarkan “hormatilah yang tua dan sayangilah yang muda”, dalam realitas sosial umumnya berubah menjadi, “patuhilah yang tua dan proteksilah yang tua”.
Ketiga, dengan landasan kerangka pandang yang hierarkis tadi, peradaban Islam yang  menekankan ketegasan, “qullilhaqqokanamurra.....dst. nilai-nilai ini baru menjadi wacana sekalipun untuk orang Islam, karena dalam kebudayaan Jawa kepura-puraan itu menjadi bagian dari terpeliharanya keselarasan hidup.
Dari beberapa asumsi diatas, maka dapat dilihat sebagaimana besar perpaduan yang dihasilkan dari ajaran Islam dengan kebudayaan Jawa yang ada. Dan perbandingan yang dihasilkan dari ajaran Islam dan Budaya Jawa.
  
REFERENSI

- Sutrisno,Budi Hadi..Islam Kejawen.Yogyakarta :EULE BOOK.2009.
- Yatim,BadriSejarah Peradaban Islam,Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008
- Amin,M. Darori.Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta :Gama Media 2000.
- Sofwan,Ridin.dkk,Islamisasi di Jawa,Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2000.
- Fikriono,Muhaji.Puncak Makrifat Jawa,Jakarta :NouraBooks, 2012.
- Sumukti, Tuti.Semar:Dunia Batin Orang Jawa,Yogyakarta : PT. Agromedia Pustaka, 2006.
- Astiyanto, Henny.Filsafat Jawa,.Yogyakarta : Warta Pustaka, 2006.
- Suhandjati, SukriSri.Ijtihad Progresif Yasadipura II dalam akulturasi Islam engan Budaya Jawa,Yogyakarta :Gama Media, 2004.
- Thohir,Mudahirin .Memahami Kebudayaan,Semarang :Fassindo Press, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar