Selasa, 06 Januari 2015

IJTIHAD 2



A.    Makna Ijtihad Serta Persyaratan Non Skill yang Harus Dipenuhi Mujtahid
1.      Makna Ijtihad
Kata ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd atau al-juhd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan atau kesusahan) dan ath-thaqah (kesanggupan dan kemampuan).Secara ringkas ijtihad berari sungguh-sungguh atau bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu.
Sedangkan pengertian ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dikemukakan dalam buku-buku ushul fiqh, yaitu pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Ijtihad hanya berlaku di bidang syara’, tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak. Menurut Dr. Muhammad Musa Towana menyebutkan dua definisi ijtihad, yaitu :
1.      Pengerahan kemampuan diri seorang yang ahli untuk mengeluarkan hukum-hukum syara’ yang pokok dalam lapangan i’tiqodiyat dari dalil-dalilnya yang terinci.
2.      Merenungkan masalah-masalah ijtihad dengan tarjih dan tajarrud untuk mengetahui hukumnya lewat emanasi dan ilham, sehingga Allah memberi petunjuk kepada mujtahid itu tentang masalah-masalah tersebut.
Ijtihad adalah lawan dari taklid, yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa meneliti dengan cermat sumber-sumber pengambilannya.Kata ijtihad harus dipakai dalam persoalan-persoalan yang sulit, baik secara hissi maupun ma’nawi. Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum Islam, khususnya umat Islam tidak akan dapat memahami Islam tanpa mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan hukum, berarti bahwa hukum dan hukuman itu berkaitan degan akal, tidak ada hukum dan hukuman bagi orang yang tidak berakal. Sehingga akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem agama Islam, karena akal adalah wadah yang menampung aqidah, syari’ah, dan akhlak.
2.      Persyaratan Non Skill yang Harus Dipenuhi Mujtahid
Menurut Baqir Sadr terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu diturunkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan. Oleh karena itu tidak jarang terjadi para fuqoha atau cendekiawan terjebak dalam empat bentuk kekeliruan, yaitu subyektifikasi, manipulasi, justifikasi, interpolasi, kemudian oleh Jalaluddin Rahmat ditambah satu lagi yaitu inakurasi. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati bagi seorang mujtahid yang harus dipenuhi adalah :
1.      Mengetahui Al-Qur’an (mengetahui sebab turunnya ayat dan mengetahui Nasikh dan Mansukh)
2.      Mengetahui As-Sunnah (mengetahui Ilmu Diroyah Hadist, mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh, dan mengetahui sebab wurud hadis)
3.      Mengetahui Bahasa Arab
4.      Mengetahui tempat-tempat Ijma’
5.      Mengetahui Ushul Fiqh (mengetahui qiyas)
6.      Mengetahui maksud-maksud Syariah
7.      Mengenal Manusia dan Kehidupan sekitarnya
8.      Bersifat Adil dan Taqwa
Persyaratan-persyaratan ini terdiri atas dua bagian, yaitu persyaratan teknis dan persyaratan kepribadian (non skill). Persyaratan teknis ini dapat dipelajari dalam setiap buku-buku ushul fiqh. Sedangkan persyaratan kepribadian (non skill) seringkali diabaikan sehingga kita sering melihat orang-orang yang mungkin tinggi kadar ilmunya, namun kepribadiannya lemahdan akhlaq-nya buruk, sehingga ilmunya itu tidak dapat diharapkan untuk pembimbing umat dan membawa rahmat bagi manusia. Mengutip pendapat al-alamah Abu Zahrah, al-Baqir menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang munjtahid, antara lain;
Pertama,kecerdasan dan kearifan. Dengan ini ia mampu menggunakan ilmu-ilmu teknisdi atas sebagai alat yang memilahkan antara pendapat-pendapat yang benar dan yang palsu, yang tepat dan yang menyimpang dari tujuan syariat. Selanjutnya akan memudahkan menyimpulkan hukum-hukum yang benar dari dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada peristiwa kasus yang muncul.
Kedua, Niat yang tulus dan itikad yang baik.Niat yang tulus menjadikan hati diterangi cahaya Allah SWT sehingga mampu menembus inti agama yang penuh hikmah ini. Bila tujuannya hanyalah hakikat agama semata-mata, tak ada tujuan apa pun selain itu, pastilah Allah akan mengarunianya cahaya hikmah yang akan senantiasa membimbingnya di jalan kebenaran dan menjauhkannya dari jalan kesesatan. Sebab, syariah adalah nur yang tidak akanada yang bisa meraihnya kecuali siapa yang hatinya dipenuhi keikhlasan. Ia tidak akan bersikap fanatic dalam mempertahankan pendapat kelompoknya lalu memaksakan kelompok lain untuk mengikuti pendapat tersebut sebagai kebenaran mutlak, sementara pendapat lain semua salah.Para imam besar pada masa lalu berkata “pendapat kami benar namun mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah namun mengandung kemungkinan benar”.
B.     Absolutisasi dan Deabolutisasi Hasil Ijtihad
Ajaran islam pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, ajaran islam yang sifatnya absolut, tidak berubah dan tidak dapat diubah, universal dan permanen. Kedua, ajaran islam yang sifatnya relatif, dapat diubah, berubah, dan tidak permanen. Bagian yang kedua ini termasuk ajaran islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Di kalangan ushuliyyin dikenal dalil yang bersifat qath’I dan dzanny baik eksistensinya maupun penunjukannya.
Menurut asy-Syaukani ijtihad memiliki lapangan yang sangat luas yaitu segala sesuatu yang tidak ditemukan hukumnya di dalam nash secara langsung.
Apabila pengkategorian nash yang menjadi titik tolak batasan ijtihad, diidentifikasikan ke dalam dua bidang besar hukum islam, yaitu ibadah dan mu’amalah, maka akan terlihat bahwa sebagian besar masalah yang ditunjukkan oleh nash-nash yang dzanny adalah masalah yang termasuk dalam bidang muamalah.
Dalam bidang mu’amalah, nash-nash yang menjelaskan tentang hal ini sebagian besar dalam bentuk umum atau global yang diidentikkan dengan dzanny. Keadaan tersebut dimaksudkan untuk dapat diadakan perubahan-perubahan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia dalam ruang dan waktu, dan sesuai dengan kemaslahatan.
Melalui celah-celah dari dalil yang dzanny,baik wurud maupun dalalahnya, para ahli hokum islam berupaya untuk menemukan kesimpulan hukum. Oleh karena bersumber pada dalil dzanny, sudah dapat diduga bahwa hasil ijtihadnya akan bersifat dzanny. Dengan demikian, hasil ijtihad seseorang atau sekelompok orang lebih banyak yang bersifat relatif, tidak mutlak benar. Perbedaan pendapat di antara mereka, merupakan salah satu cerminan kerelatifan pendapat tersebut.
Lebih lanjut Khallaf menandaskan bahwa apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sarih, dan qath’iy dari segi sumbernya dalam pengertiannya yang menunjukkan atas hukum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad didalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’iy kedatangannya dan keluarnya dari Allah dan rasulnya bukanlah tempat suatu pembahasan dan pencurahan jerih payah.
Contoh dalam kasus cambuk pezina, “wanita pezina dan lelaki pezina, maka jilid olehmu akan tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali.” Tak ada tempat berijtihad lagi tentang hukum menyiksa pezina dengan jilid dan bilangan kali jilid. Demikian juga tak ada ijtihad pada hukum-hukum siksa yang sudah dibatasi. 
Berbeda dengan Muhammad Syahrur memperkenalkan teori “hudud” (bentuk jamak dari kata had yang secara etimologi berarti batas) dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya al-qur’an yang mempunyai ayat qath’iy masih berlaku lapangan ijtihad didalamnya. Ia menyebutkan 6 macam teori hudud yaitu; (1) al-had al-adna (disebutkan batas minimalnya); (2) al-had al-‘ala (Batas maksimalnya); (3) al-had al-adna wa al-had al-a’la ma’an (batas minimal dan maksimal, keduanya disebutkan); (4) al-had al-adna wa al-had al-‘ala nuqtah wahidah (disebut batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam satu titik); al-had al-a’la bi khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai batas maksimal dan tidak menyentuh batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la mujib muqhlaq la ajuz tajaawuzuh, wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh (batas maksimal positif dan batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik tengah).
Misalnya dalam hal hukuman bagi pencuri. Dalam Al-qur’an sudah jelas diterangkan bahwa hukuman bagi pencuri adalah potong tangan, ketentuan potong tangan merupakan al-had al-a’la (batas maksimal). Artinya, tidak boleh memberikan hukuman melebihi dari potong tangan, tetapi memungkinkan memberikan hukuman yang lebih ringan. Dalam penentuan hukuman itu, mujtahid boleh berijtihad menentukan hukuman bagi pencuri sesuai dengan situasi dan kondisi. Adapun modus, motivasi dan nilai barang yang dicuri harus menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan hukuman.
Sebagaimana ijtihad umar bin khatab dalam menghukum pencuri yang pada masa itu terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan tersebut, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh khalifah umar berdasarkan pertimbangan (darurat) dan kemaslahatan jiwa masyarakat.
Teori hudud Syahrur tersebut menunjukkan, bahwa nash al-Qur’an yang menurut ushuliyyun diyakini sebagai ayat qathiy ternyata masih dapat dilenturkan maknanya. Dengan teori hudud ini, mengakui keberadaan nash qathiy al-dalalah berikut konsekuensinya menjadi tidak relevan lagi. Hal ini berarti juga merontokkan anggapan bahwa ijtihad tidak boleh menyentuh nash qaht’iy.
Apabila dilacak dari sejarah pemikiran hukum Islam, pemikiran yang lebih menekankan pada nilai universal yang dikandung nash sebagai mana uraian diatas, disadari atau tidak disadari terinspirasi oleh pemikiran Umar bin Khattab, yang secara terang terangan berani menyimpang dari nash yang selama ini dianggap qath’iy dalalah-nya. Diantara contoh ijtihad Umar tersebut adalah: Pertama, menghilangkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik. Hal demikian tidak sejalan dengan bunyi nash (QS. [5]: 38).Kedua, menghilangkan bagian zakat bagi muallaf qulubuhum (orang yang masih lemah imannya). Berkaitan dengan hal ini Khalifah Umar bin Khattab mengijtihadkan dan berseberangan dengan nash dalam kasus orang muallaf pada waktu itu tidak diberi zakat. Padahal dalam al-Qur’an surat at-taubah: 60, Allah berfirman;“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat diatas menyebutkan bahwa pembagian zakat sudah ditetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf di dalamnya, yang masih lemah imannya. Pada zaman Rasulullah golongan ini memperoleh bagian zakat. Akan tetapi masa khalifah Umar bin Khattab, beliau menghentikan pemberian zakat kepada muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada golongan khusus dalam tubuh umat Islam.
Dari fenomena tersebut, menunjukkan hasil dari suatu ijtihad sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana hukum tersebut dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang dilaksanakan sering menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul berbeda. Sebagai sebuah produk ijtihadi, hukum yang ditetapkan bukanlah sesuatu yang sakral dan menutup pintu perbedaan maupun perubahan.
C.    Naqdul Ijtihad
Para ulama sepakat bahwa ijtihad dengan pengertian penyesuaian suatu perkara dengan suatu hukum yang sudah ada tetap terbuka. ijtihad kategori ini tidak termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih. Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi ushul fiqih. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebagian lagi berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang memenuhi persyaratan.
Ketika seorang mujtahid melakukan ijtihad dalam suatu kasus dari suatu kasus-kasus hukum untuk mengetahui hukum kasus tersebut kemudian apa yang menjadi dugaan mendominasi (rumusan) hukum kasus tersebut maka jika dia berijtihad untuk dirinya sendiri. Kemudian dugaan atas status hukumnya tersebut berubah, maka dia wajib membatalkan apa yang telah dihasilkan oleh ijtihad hasil pertamanya. Contohnya seorang yang telah menceraikan istrinya dua kali melakukan khulu’. Kemudian dia berijtihad yang hasilnya adalah bahwa khulu’ tidak termasuk talak sehingga dia kembali dengan istrinya. Setelah itu jelas baginya bahwa khulu’ adalah termasuk talak, maka dia wajib menceraikan istrinya karena berarti dia telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (bain) dan untuk dapat kembali harus melalui mukhallil.
Akan tetapi jika ia seorang hakim dan memberi ketetapan hukum sebagaimana yang ditunjukkan oleh ijtihadnya tiba-tiba dugaan terhadap setatus hukumnya berubah, maka ia tidak diperkenankan untuk membatalkan ijtihadnya, karena jika satu hasil ijtihad dibatalkan oleh ijtihad yang lain, maka akan terjadi pembatalan terhadap ijtihad dan tidak akan pernah berakhir yang menyebabkan ketidak pastianhukum dan tidak dapat dipercaya.
Jika setiap ijtihad bisa dihapus maka akan terjadi apa yang disebut tasalsul yakni mata rantai hukum yang tak berujung pangkal. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kesulitan baik bagi para pegiat hukum (fuqaha) maupun bagi masyarakat umum untuk mendapatkan hukum yang pasti. Sebab hasil-hasil ijtihad akan terus saling membatalkan, ijtihad yang dulu dibatalkan oleh ijtihad yang sekarang, ijtihad yang sekarang akan dibatalkan oleh ijtihad yang akan datang dan begitu seterusnya. Tidak adanya ketetapan hukum ini dapat mengakibatkan kesulitan dan kekacauan yang besar.
Diriwayatkan dari Ibnu Sibagh: “ Sesungguhnya Abu Bakar r.a memberi keputusan hukum pada beberapa masalah. Kemudian Umar ibn Khattab memberikan keputusan hukum yang berbeda atas masalah-masalah tersebut. Namun Umar tidak membatalkan keputusan Abu Bakar dan tetap mengakuinya ”. Demikian pula Umar pernah memberi keputusan dua kali dalam berbagai masalah. Di mana keputusan Umar yang pertama berbeda dengan keputusannya yang kedua serta beliau tidak membatalkan keputusannya yang terdahulu. Terkait dengan keputusan yang berbeda tersebut, Umar berkata: “Tilka ala ma qadlaynaa wa hadzaa ala maa naqdly” (Itu adalah yang kami putuskan pada masa lampau, dan ini adalah keputusan kami sekarang”.
Dari statmen ini, secara tidak langsung umar r.a, telah memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah siambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang pernah diambilnyalalu diubahnya sendiri. Berangkat dari perspektif inilah, para ulama’ kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad umar ra. Tidak dapat mengubah hasil ijtihad Abu bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetus sebuah consensus (ijma’) sahabat, bahwa al-ijtihad la yunqadu bi al-ijtihad, sebagaimana dilansir oleh al-Suyuti.
Alasan tiadanya penganuliran hasil ijtihad karena ijtihad kedua belum tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad pertama, disamping karena keduanya sama-sama diperoleh (produced) yang sulit dan berbelit-belit. Hal yang membedakan keduanya adalah konteks waktu yang tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu jika sering terjadi penganuliran produk hukum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana dijelaskan dimuka.
Dalam kajian ijtihad kontemporer, menyebutkan hal-hal yang bisa menggelincirkan ijtihad ke dalam kesalahan, meskipun hal ini dilakukan oleh ahlinya, pada tempatnya dan dengan syarat-syaratnya. Yusuf Qardawi mengatakan letak kekeliruan tersebut yaitu mengabaikan nash hukum, salah memahami nash atau sengaja menyelewengkan pengertiannya, berpaling dari hasil ijma’ yang diyakini, menggunakan qias tidak pada tempatnya, lengah dari realita zaman, berlebih-lebihan dalam menganggap maslahat walaupun mengesampingkan nash, maslahat yang ditentang oleh nash adalah maslahat yang meragukan, dan menghapuskan rukhshah yang telah ditetapkan syara’ dengan alasan tidak dibutuhkan lagi.Shatibi mengutip kode berikut Malik untuk pelaksanaan ijtihad , mengeja berbagai langkah proses :
Aturannya adalah bahwa Anda memeriksa kasus yang diberikan dalam terang syariah . Jika benar sesuai dengan syariah kemudian mempertimbangkan konsekuensinya dalam konteks kondisi waktu dan orang-orangnya . jika dengan menyebutkan nya pikiran Anda tidak ingat kejahatan apapun kemudian mengirimkannya ke alasan . Jika Anda merasa bahwa hal itu akan diterima oleh orang-orang yang wajar , maka Anda dapat memberikan pendapat Anda dalam istilah umum jika kasus tersebut berkaitan dengan suatu hal yang umumnya diterima . Jika tidak dapat disamaratakan kemudian memberikan pendapat tertentu . Jika kasus tersebut tidak menerima proses ini , maka lebih baik diam yang akan lebih sesuai dengan kesejahteraan rakyat , hukum serta rasional.
Persyaratan dalam prinsip di atas untuk mempertimbangkan keadaan khusus dari individu tidak, bagaimanapun , menjamin interpretasi sewenang-wenang dari hukum Islam . Itu akan membuat ijtihad yang tidak valid . Mungkin , Namun , ada kasus di mana kesalahan tidak disengaja , misalnya ketika beberapa bukti tidak diketahui atau tidak jelas bagi sarjana pada saat penghakiman . Dalam kasus tersebut , penilaian menjadi tidak valid jika itu bertentangan dengan syariah . Ini tidak akan bahkan dihitung sebagai perbedaan pendapat karena tidak merupakan ijtihad sama sekali.
Tipe lain dari ijtihad tidak sah adalah ketika itu dimotivasi oleh keinginan tersembunyi terkemuka sarjana untuk mengabaikan fakta dan bukti yang jelas . Pendapatnya kadang-kadang dalam konflik parsial dan kadang-kadang benar-benar dengan universal dan prinsip-prinsip umum syariah . Situasi ini mungkin timbul ketika seorang sarjana menganggap dirinya mujtahid atau yang lain percaya dia begitu dan pendapatnya dihitung seperti itu. Sebuah ijtihad berdasarkan pertimbangan tergesa-gesa dan interpretasi tidak buang semua makna dan implikasi teks.
D.    Contoh-Contoh Perbedaan Ijtihadiyah di Kalangan Para Sahabat pada Masa Nabi
Umat Islam pada masa Rasulullah tidak berhajat benar untuk melakukan ijtihad, karena pada masa Nabi umumnya mereka akan bertanya kepada Nabi Muhammad jika menghadapi persoalan. Mereka bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepada Nabi atau dengan ijtihadnya yang mendapat kebenaran wahyu. Dan jika sesekali mereka perlu mempergunakan ijtihad karena tak dapat bertanya, ijtihad mereka itu disampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya. Sesudah Nabi wafat, barulah mereka memerlukan ijtihad. Karena Al-Qur’an yang bersifat kully, sedangkan permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat semakin banyak. Namun pada masa Nabi ini terjadi beberapa perbedaan dalam berijtihad pada saat mereka tak dapat bertanya pada Nabi. Beberapa contoh perbedaan ijtihad yang telah terjadi pada masa Nabi Muhammad sebagai berikut:
1.   Ada dua orang sahabat Nabi yang sedang dalam perjalanan, mereka berdua sholat tanpa berwudhu dan hanya bertayamum karena ketiadaan air, seusai menuaikan sholat, tiba-tiba keduanya mendapati air. Kemudian yang seorang mengulangi kembali sholatnya karena masih ada waktu sholat, sementara yang satunya tidak mengulangi sholatnya karena ia menganggap sholat yang ia lakukan tetap sah. Ketika keduanya bertemu dengan Rasul saw. dan menceritakan perbuatannya, Rasul membenarkan kedua pendapat mereka. Kepada yang tidak mengulangi sholatnya Rasul bersabda, “pendapatmu sesuai sunnah dan sholatmu tetap sah” kepada yang mengulangi sholatnya Nabi bersabda, “untukmu dua kali lipat ganjaran.”
2.   Suatu ketika sekelompok sahabat Nabi Muhammad saw. Berpergian dan di antara mereka terdapat Umar Ibn al-Khattab ra dan Muaz Ibn Jabal ra. Di tengah perjalanan datang waktu sholat Shubuh, sementara mereka tidak mendapatkan air padahal mereka dalam keadaan berhadas besar (junub) yang menyebabkan mereka harus mandi. Mu’az menganalogikanbersuci dengan debu sama hukumnya dengan bersuci dengan air, dan atas dasar qiyas itulah ia mengguling-gulingkan seluruh tubuhnya di atas tanah (padang pasir) untuk bertayamum dan mengerjakan sholat subuh pada waktunya. Berbeda dengan ijtihad Muaz, umar tetap mencari air dan untuk itu beliau terpaksa mengakhirkan (menunda) sholat subuhnya. Sepulang dari perjalanan, mereka menanyakan persoalan tersebut kepada Rasulullah saw. Dan ternyata keduanya tidak dibenarkan. Kemudian Nabi saw menjelaskan bahwa qiyas yang fasid karena bertentangan dengan QS Al-Maidah : 6 yang artinya : “...dan jika kamu dalam keadaan sakit, di tengah perjalanan, keluar dari tempat buang air atau habis menyentuh wanita (bersenggama) kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah (debu) yang baik (suci), kemudian usaplah muka dan kedua tanganmu”(QS Al-Maidah:6).
3.   Suatu ketika Nabi Muhammad mengirim sekelompok sahabat ke Bani Qurayzah, dan memerintahkan mereka agar tidak melaksanakan sholat ashar kecuali di Bani Qurayzah. Waktu yang ditentukan untuk sholat ashar tersebut hampir habis, padahal mereka belum mencapai tempat yang diperintahkan untuk melaksanakan sholat ashar. Karena itu kelompok sahabat terbagi menjadi dua pihak, yaitu ada yang melaksanakan sholat ashar dan yang satu lagi tidak melaksanakan sholat ashar karena belum sampai pada tempatnya. Setelah bertemu Nabi mereka menceritakan hal tersebut kepada Nabi dan Nabi pun membenarkan keduanya.
Beberapa riwayat di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad saw. melatih, mendidik, dan membimbing sebagian sahabat untuk berijtihad. Namun ijtihad pada zaman Nabi saw. belum dapat dianggap sebagai alat penggali hukum, mengingat ijtihad yang dilakukan para sahabat masih dalam taraf memilih alternatif, sementara penentuan akhir dalam masalah-masalah hukum pada waktu itu pada hakikatnya masih tetap berada di tangan Rasulullah saw. Itulah sebabnya mengapa hasil ijtihad para sahabat yang dibenarkan Nabi saw. sendiri tidak dinamai hasil ijtihad mereka, akan tetapi disebut sebagai sunnah Rasulullah.



- Kutbuddin Aibak, Metodologi pembaharuan Hukum Islam,Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2008.
- Amir Mu’allim dan Yusnadi, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, UUI Press : Yogyakarta.2004.
- Muhammad Mushlehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, PT. Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta. 1997.
- Yusuf Al-Qordlawy, Ijtihad dalam Syariat Islam, PT Bulan Bintang : Jakarta. 1987.
- Jamil Faturahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
- Kutbuddin Aibak, metodologi pembaharuan hukumislam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
- T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pengantar hukum islam, Jakarta: bulan bintang, 1953
- Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, PengantarHukum Islam, Jakarta: BulanBintang, 1994
- Muhammad Khudhori Beik, Ushul al-Fiqh, terj.  Faiz el-Muttaqien, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
- Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi, al-Mawahib al-saniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
- Yusuf al-Qardawi, IjtihaddalamSyari’at Islam: Beberapa Pandangan Analisis Ijtihad Kontemporer, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
- M. Hasbi Ash-Shiddiqy,Pengantar Hukum Islam Jilid 1, PT Bulan Bintang : Jakarta, 1994.
- JaserAudah, Al-Maqasid untuk Pemula, SUKA Press UIN Sunan Kalijaga : Yogyakarta, 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar