1. Makna Ijtihad
Kata ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd atau
al-juhd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan atau kesusahan) dan ath-thaqah
(kesanggupan dan kemampuan).Secara
ringkas ijtihad berari sungguh-sungguh atau bekerja keras untuk mendapatkan
sesuatu.
Sedangkan pengertian ijtihad secara istilah pada umumnya
banyak dikemukakan dalam buku-buku ushul fiqh, yaitu pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’. Ijtihad hanya berlaku di bidang syara’, tidak
berlaku dalam bidang teologi dan akhlak. Menurut Dr. Muhammad Musa Towana
menyebutkan dua definisi ijtihad, yaitu :
1. Pengerahan kemampuan diri
seorang yang ahli untuk mengeluarkan hukum-hukum syara’ yang pokok dalam
lapangan i’tiqodiyat dari dalil-dalilnya yang terinci.
2. Merenungkan masalah-masalah
ijtihad dengan tarjih dan tajarrud untuk mengetahui hukumnya lewat emanasi dan
ilham, sehingga Allah memberi petunjuk kepada mujtahid itu tentang
masalah-masalah tersebut.
Ijtihad adalah lawan dari taklid, yaitu mengikuti pendapat
orang lain tanpa meneliti dengan cermat sumber-sumber pengambilannya.Kata ijtihad harus dipakai dalam persoalan-persoalan yang sulit, baik secara hissi
maupun ma’nawi. Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan
hukum Islam, khususnya umat Islam tidak akan dapat memahami Islam tanpa
mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa agama
adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Jika pernyataan ini
dikaitkan dengan hukum, berarti bahwa hukum dan hukuman itu berkaitan degan
akal, tidak ada hukum dan hukuman bagi orang yang tidak berakal. Sehingga akal
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem agama Islam, karena akal adalah
wadah yang menampung aqidah, syari’ah, dan akhlak.
2. Persyaratan Non Skill yang Harus Dipenuhi Mujtahid
Menurut Baqir Sadr terdapat jarak yang sangat jauh antara
situasi sosial ketika nash-nash itu diturunkan dengan situasi sosial dewasa
ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan. Oleh karena itu tidak jarang
terjadi para fuqoha atau cendekiawan terjebak dalam empat bentuk kekeliruan,
yaitu subyektifikasi, manipulasi, justifikasi, interpolasi, kemudian oleh
Jalaluddin Rahmat ditambah satu lagi yaitu inakurasi.
Adapun syarat-syarat yang telah disepakati bagi seorang mujtahid yang harus
dipenuhi adalah :
1. Mengetahui Al-Qur’an (mengetahui
sebab turunnya ayat dan mengetahui Nasikh dan Mansukh)
2. Mengetahui As-Sunnah
(mengetahui Ilmu Diroyah Hadist, mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh, dan
mengetahui sebab wurud hadis)
3. Mengetahui Bahasa Arab
4. Mengetahui tempat-tempat
Ijma’
5. Mengetahui Ushul Fiqh
(mengetahui qiyas)
6. Mengetahui maksud-maksud
Syariah
7. Mengenal Manusia dan
Kehidupan sekitarnya
8. Bersifat Adil dan Taqwa
Persyaratan-persyaratan ini terdiri atas dua bagian, yaitu
persyaratan teknis dan persyaratan kepribadian (non skill). Persyaratan teknis
ini dapat dipelajari dalam setiap buku-buku ushul fiqh. Sedangkan persyaratan
kepribadian (non skill) seringkali
diabaikan sehingga kita sering melihat orang-orang yang mungkin tinggi kadar
ilmunya, namun kepribadiannya lemahdan akhlaq-nya buruk, sehingga ilmunya itu
tidak dapat diharapkan untuk pembimbing umat dan membawa rahmat bagi manusia.
Mengutip pendapat al-alamah Abu Zahrah, al-Baqir menyebutkan beberapa sifat
yang harus dimiliki oleh seorang munjtahid, antara lain;
Pertama,kecerdasan
dan kearifan. Dengan ini ia mampu menggunakan ilmu-ilmu teknisdi atas sebagai
alat yang memilahkan antara pendapat-pendapat yang benar dan yang palsu, yang
tepat dan yang menyimpang dari tujuan syariat. Selanjutnya akan memudahkan
menyimpulkan hukum-hukum yang benar dari dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang
umum yang dapat diterapkan pada peristiwa kasus yang muncul.
Kedua, Niat yang tulus dan itikad yang baik.Niat yang tulus menjadikan
hati diterangi cahaya Allah SWT sehingga mampu menembus inti agama yang penuh
hikmah ini. Bila tujuannya hanyalah hakikat agama semata-mata, tak ada tujuan
apa pun selain itu, pastilah Allah akan mengarunianya cahaya hikmah yang akan
senantiasa membimbingnya di jalan kebenaran dan menjauhkannya dari jalan
kesesatan. Sebab, syariah adalah nur yang tidak akanada yang bisa meraihnya
kecuali siapa yang hatinya dipenuhi keikhlasan.
Ia tidak akan bersikap fanatic dalam mempertahankan pendapat kelompoknya lalu
memaksakan kelompok lain untuk mengikuti pendapat tersebut sebagai kebenaran
mutlak, sementara pendapat lain semua salah.Para imam besar pada masa lalu
berkata “pendapat kami benar namun mengandung kemungkinan salah, sedangkan
pendapat orang lain salah namun mengandung kemungkinan benar”.
B. Absolutisasi dan Deabolutisasi Hasil Ijtihad
Ajaran islam pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua
bagian. Pertama, ajaran islam yang sifatnya absolut, tidak berubah dan
tidak dapat diubah, universal dan permanen. Kedua, ajaran islam yang
sifatnya relatif, dapat diubah, berubah, dan tidak permanen. Bagian yang kedua
ini termasuk ajaran islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad.
Di kalangan ushuliyyin dikenal dalil yang bersifat qath’I dan dzanny
baik eksistensinya maupun penunjukannya.
Menurut asy-Syaukani ijtihad memiliki lapangan yang sangat
luas yaitu segala sesuatu yang tidak ditemukan hukumnya di dalam nash secara
langsung.
Apabila pengkategorian nash yang menjadi titik tolak
batasan ijtihad, diidentifikasikan ke dalam dua bidang besar hukum islam, yaitu
ibadah dan mu’amalah, maka akan terlihat bahwa sebagian besar masalah yang
ditunjukkan oleh nash-nash yang dzanny adalah masalah yang termasuk
dalam bidang muamalah.
Dalam bidang mu’amalah, nash-nash yang menjelaskan tentang
hal ini sebagian besar dalam bentuk umum atau global yang diidentikkan dengan dzanny.
Keadaan tersebut dimaksudkan untuk dapat diadakan perubahan-perubahan dan
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia dalam ruang dan waktu, dan sesuai
dengan kemaslahatan.
Melalui celah-celah dari dalil yang dzanny,baik
wurud maupun dalalahnya, para ahli hokum islam berupaya untuk menemukan
kesimpulan hukum. Oleh karena bersumber pada dalil dzanny, sudah dapat
diduga bahwa hasil ijtihadnya akan bersifat dzanny. Dengan demikian,
hasil ijtihad seseorang atau sekelompok orang lebih banyak yang bersifat
relatif, tidak mutlak benar. Perbedaan pendapat di antara mereka, merupakan
salah satu cerminan kerelatifan pendapat tersebut.
Lebih
lanjut Khallaf menandaskan bahwa apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya
telah ada dalil yang sarih, dan qath’iy dari segi sumbernya dalam
pengertiannya yang menunjukkan atas hukum syar’inya, maka tidak ada peluang
untuk berijtihad didalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang
ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’iy kedatangannya
dan keluarnya dari Allah dan rasulnya bukanlah tempat suatu pembahasan dan
pencurahan jerih payah.
Contoh dalam kasus cambuk pezina, “wanita pezina dan
lelaki pezina, maka jilid olehmu akan tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus
kali.” Tak ada tempat berijtihad lagi tentang hukum menyiksa pezina dengan
jilid dan bilangan kali jilid. Demikian juga tak ada ijtihad pada hukum-hukum
siksa yang sudah dibatasi.
Berbeda dengan Muhammad Syahrur memperkenalkan teori “hudud”
(bentuk jamak dari kata had yang secara etimologi berarti batas)
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya al-qur’an yang mempunyai ayat qath’iy
masih berlaku lapangan ijtihad didalamnya. Ia menyebutkan 6 macam teori hudud
yaitu; (1) al-had al-adna (disebutkan batas minimalnya); (2) al-had
al-‘ala (Batas maksimalnya); (3) al-had al-adna wa al-had al-a’la ma’an (batas
minimal dan maksimal, keduanya disebutkan); (4) al-had al-adna wa al-had
al-‘ala nuqtah wahidah (disebut batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam
satu titik); al-had al-a’la bi khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai
batas maksimal dan tidak menyentuh batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la
mujib muqhlaq la ajuz tajaawuzuh, wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh (batas
maksimal positif dan batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik
tengah).
Misalnya dalam hal hukuman bagi pencuri. Dalam Al-qur’an
sudah jelas diterangkan bahwa hukuman bagi pencuri adalah potong tangan,
ketentuan potong tangan merupakan al-had al-a’la (batas maksimal). Artinya, tidak
boleh memberikan hukuman melebihi dari potong tangan, tetapi memungkinkan
memberikan hukuman yang lebih ringan. Dalam penentuan hukuman itu, mujtahid
boleh berijtihad menentukan hukuman bagi pencuri sesuai dengan situasi dan
kondisi. Adapun modus, motivasi dan nilai barang yang dicuri harus menjadi
bahan pertimbangan dalam memberikan hukuman.
Sebagaimana ijtihad umar bin khatab dalam menghukum
pencuri yang pada masa itu terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung
Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan tersebut,
ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam al-Qur’an tidak
dilaksanakan oleh khalifah umar berdasarkan pertimbangan (darurat) dan
kemaslahatan jiwa masyarakat.
Teori hudud Syahrur tersebut menunjukkan, bahwa nash
al-Qur’an yang menurut ushuliyyun diyakini sebagai ayat qathiy ternyata
masih dapat dilenturkan maknanya. Dengan teori hudud ini, mengakui keberadaan
nash qathiy al-dalalah berikut konsekuensinya menjadi tidak relevan
lagi. Hal ini berarti juga merontokkan anggapan bahwa ijtihad tidak boleh
menyentuh nash qaht’iy.
Apabila dilacak dari sejarah pemikiran hukum Islam,
pemikiran yang lebih menekankan pada nilai universal yang dikandung nash
sebagai mana uraian diatas, disadari atau tidak disadari terinspirasi oleh
pemikiran Umar bin Khattab, yang secara terang terangan berani menyimpang dari
nash yang selama ini dianggap qath’iy dalalah-nya. Diantara contoh
ijtihad Umar tersebut adalah: Pertama, menghilangkan hukuman potong
tangan bagi pencuri pada musim paceklik. Hal demikian tidak sejalan dengan
bunyi nash (QS. [5]: 38).Kedua, menghilangkan bagian zakat bagi muallaf
qulubuhum (orang yang masih lemah imannya). Berkaitan dengan hal ini
Khalifah Umar bin Khattab mengijtihadkan dan berseberangan dengan nash dalam
kasus orang muallaf pada waktu itu tidak diberi zakat. Padahal dalam
al-Qur’an surat at-taubah: 60, Allah berfirman;“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat diatas menyebutkan bahwa pembagian zakat sudah
ditetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf di
dalamnya, yang masih lemah imannya. Pada zaman Rasulullah golongan ini memperoleh
bagian zakat. Akan tetapi masa khalifah Umar bin Khattab, beliau menghentikan
pemberian zakat kepada muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam
telah kuat, umat Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan
keistimewaan kepada golongan khusus dalam tubuh umat Islam.
Dari fenomena tersebut, menunjukkan hasil dari suatu
ijtihad sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana hukum tersebut
dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang dilaksanakan sering
menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul
berbeda. Sebagai sebuah produk ijtihadi, hukum yang ditetapkan bukanlah sesuatu
yang sakral dan menutup pintu perbedaan maupun perubahan.
C. Naqdul Ijtihad
Para ulama sepakat bahwa ijtihad dengan pengertian penyesuaian suatu
perkara dengan suatu hukum yang sudah ada tetap terbuka. ijtihad kategori ini
tidak termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih. Perbedaan
pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi ushul fiqih. Sebagian ulama’ berpendapat
bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebagian lagi berpendapat bahwa pintu
ijtihad tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang memenuhi
persyaratan.
Ketika seorang mujtahid melakukan ijtihad dalam suatu kasus dari suatu
kasus-kasus hukum untuk mengetahui hukum kasus tersebut kemudian apa yang
menjadi dugaan mendominasi (rumusan) hukum kasus tersebut maka jika dia
berijtihad untuk dirinya sendiri. Kemudian dugaan atas status hukumnya tersebut
berubah, maka dia wajib membatalkan apa yang telah dihasilkan oleh ijtihad
hasil pertamanya. Contohnya seorang yang telah menceraikan istrinya dua kali
melakukan khulu’. Kemudian dia berijtihad yang hasilnya adalah bahwa khulu’
tidak termasuk talak sehingga dia kembali dengan istrinya. Setelah itu jelas
baginya bahwa khulu’ adalah termasuk talak, maka dia wajib menceraikan istrinya
karena berarti dia telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (bain) dan
untuk dapat kembali harus melalui mukhallil.
Akan tetapi jika ia seorang hakim dan memberi ketetapan hukum sebagaimana
yang ditunjukkan oleh ijtihadnya tiba-tiba dugaan terhadap setatus hukumnya
berubah, maka ia tidak diperkenankan untuk membatalkan ijtihadnya, karena jika
satu hasil ijtihad dibatalkan oleh ijtihad yang lain, maka akan terjadi pembatalan
terhadap ijtihad dan tidak akan pernah berakhir yang menyebabkan ketidak
pastianhukum dan tidak dapat dipercaya.
Jika setiap ijtihad bisa dihapus maka akan terjadi apa yang disebut tasalsul yakni
mata rantai hukum yang tak berujung pangkal. Hal ini tentunya akan
mengakibatkan kesulitan baik bagi para pegiat hukum (fuqaha) maupun bagi
masyarakat umum untuk mendapatkan hukum yang pasti. Sebab hasil-hasil ijtihad
akan terus saling membatalkan, ijtihad yang dulu dibatalkan oleh ijtihad yang
sekarang, ijtihad yang sekarang akan dibatalkan oleh ijtihad yang akan datang
dan begitu seterusnya. Tidak adanya ketetapan hukum ini dapat mengakibatkan
kesulitan dan kekacauan yang besar.
Diriwayatkan dari Ibnu Sibagh: “ Sesungguhnya Abu Bakar r.a memberi
keputusan hukum pada beberapa masalah. Kemudian Umar ibn Khattab memberikan
keputusan hukum yang berbeda atas masalah-masalah tersebut. Namun Umar tidak
membatalkan keputusan Abu Bakar dan tetap mengakuinya ”. Demikian pula Umar
pernah memberi keputusan dua kali dalam berbagai masalah. Di mana keputusan
Umar yang pertama berbeda dengan keputusannya yang kedua serta beliau tidak
membatalkan keputusannya yang terdahulu. Terkait dengan keputusan yang berbeda
tersebut, Umar berkata: “Tilka ala ma qadlaynaa wa hadzaa ala maa naqdly”
(Itu adalah yang kami putuskan pada masa lampau, dan ini adalah keputusan kami
sekarang”.
Dari statmen ini, secara tidak langsung umar r.a, telah memberikan
ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah siambil oleh
pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang
pernah diambilnyalalu diubahnya sendiri. Berangkat dari perspektif inilah, para
ulama’ kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad umar ra. Tidak dapat
mengubah hasil ijtihad Abu bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetus sebuah
consensus (ijma’) sahabat, bahwa al-ijtihad la yunqadu bi
al-ijtihad, sebagaimana dilansir oleh al-Suyuti.
Alasan tiadanya penganuliran hasil ijtihad karena ijtihad kedua belum
tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad pertama, disamping karena keduanya
sama-sama diperoleh (produced) yang sulit dan berbelit-belit. Hal yang
membedakan keduanya adalah konteks waktu yang tidak bersamaan ketika
diputuskan. Selain itu jika sering terjadi penganuliran produk hukum, maka yang
akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana
dijelaskan dimuka.
Dalam kajian ijtihad kontemporer, menyebutkan hal-hal yang bisa
menggelincirkan ijtihad ke dalam kesalahan, meskipun hal ini dilakukan oleh
ahlinya, pada tempatnya dan dengan syarat-syaratnya. Yusuf Qardawi mengatakan
letak kekeliruan tersebut yaitu mengabaikan nash hukum, salah memahami nash
atau sengaja menyelewengkan pengertiannya, berpaling dari hasil ijma’ yang
diyakini, menggunakan qias tidak pada tempatnya, lengah dari realita zaman,
berlebih-lebihan dalam menganggap maslahat walaupun mengesampingkan nash,
maslahat yang ditentang oleh nash adalah maslahat yang meragukan, dan
menghapuskan rukhshah yang telah ditetapkan syara’ dengan alasan tidak dibutuhkan
lagi.Shatibi
mengutip kode berikut Malik untuk pelaksanaan ijtihad , mengeja berbagai
langkah proses :
Aturannya adalah bahwa Anda memeriksa kasus yang diberikan dalam terang
syariah . Jika benar sesuai dengan syariah kemudian mempertimbangkan konsekuensinya
dalam konteks kondisi waktu dan orang-orangnya . jika dengan menyebutkan nya
pikiran Anda tidak ingat kejahatan apapun kemudian mengirimkannya ke alasan .
Jika Anda merasa bahwa hal itu akan diterima oleh orang-orang yang wajar , maka
Anda dapat memberikan pendapat Anda dalam istilah umum jika kasus tersebut
berkaitan dengan suatu hal yang umumnya diterima . Jika tidak dapat
disamaratakan kemudian memberikan pendapat tertentu . Jika kasus tersebut tidak
menerima proses ini , maka lebih baik diam yang akan lebih sesuai dengan
kesejahteraan rakyat , hukum serta rasional.
Persyaratan dalam prinsip di atas untuk mempertimbangkan keadaan khusus
dari individu tidak, bagaimanapun , menjamin interpretasi sewenang-wenang dari
hukum Islam . Itu akan membuat ijtihad yang tidak valid . Mungkin , Namun , ada
kasus di mana kesalahan tidak disengaja , misalnya ketika beberapa bukti tidak
diketahui atau tidak jelas bagi sarjana pada saat penghakiman . Dalam kasus
tersebut , penilaian menjadi tidak valid jika itu bertentangan dengan syariah .
Ini tidak akan bahkan dihitung sebagai perbedaan pendapat karena tidak
merupakan ijtihad sama sekali.
Tipe lain dari ijtihad tidak sah adalah ketika itu dimotivasi oleh
keinginan tersembunyi terkemuka sarjana untuk mengabaikan fakta dan bukti yang
jelas . Pendapatnya kadang-kadang dalam konflik parsial dan kadang-kadang
benar-benar dengan universal dan prinsip-prinsip umum syariah . Situasi ini
mungkin timbul ketika seorang sarjana menganggap dirinya mujtahid atau yang
lain percaya dia begitu dan pendapatnya dihitung seperti itu. Sebuah ijtihad
berdasarkan pertimbangan tergesa-gesa dan interpretasi tidak buang semua makna
dan implikasi teks.
D. Contoh-Contoh Perbedaan Ijtihadiyah di Kalangan Para Sahabat pada Masa
Nabi
Umat Islam pada masa Rasulullah tidak berhajat benar untuk
melakukan ijtihad, karena pada masa Nabi umumnya mereka akan bertanya kepada
Nabi Muhammad jika menghadapi persoalan. Mereka bertanya, lalu Nabi menjawab
dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepada Nabi atau dengan ijtihadnya yang
mendapat kebenaran wahyu. Dan jika sesekali mereka perlu mempergunakan ijtihad
karena tak dapat bertanya, ijtihad mereka itu disampaikan kepada Nabi, lalu
Nabi memberikan putusannya. Sesudah Nabi wafat, barulah mereka memerlukan ijtihad. Karena Al-Qur’an yang
bersifat kully, sedangkan permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat
semakin banyak. Namun pada masa Nabi ini terjadi beberapa perbedaan dalam
berijtihad pada saat mereka tak dapat bertanya pada Nabi. Beberapa contoh perbedaan
ijtihad yang telah terjadi pada masa Nabi Muhammad sebagai berikut:
1. Ada dua orang sahabat Nabi yang
sedang dalam perjalanan, mereka berdua sholat tanpa berwudhu dan hanya bertayamum
karena ketiadaan air, seusai menuaikan sholat, tiba-tiba keduanya mendapati
air. Kemudian yang seorang mengulangi kembali sholatnya karena masih ada waktu
sholat, sementara yang satunya tidak mengulangi sholatnya karena ia menganggap
sholat yang ia lakukan tetap sah. Ketika keduanya bertemu dengan Rasul saw. dan
menceritakan perbuatannya, Rasul membenarkan kedua pendapat mereka. Kepada yang
tidak mengulangi sholatnya Rasul bersabda, “pendapatmu sesuai sunnah dan
sholatmu tetap sah” kepada yang mengulangi sholatnya Nabi bersabda, “untukmu
dua kali lipat ganjaran.”
2. Suatu ketika sekelompok
sahabat Nabi Muhammad saw. Berpergian dan di antara mereka terdapat Umar Ibn
al-Khattab ra dan Muaz Ibn Jabal ra. Di tengah perjalanan datang waktu sholat
Shubuh, sementara mereka tidak mendapatkan air padahal mereka dalam keadaan berhadas
besar (junub) yang menyebabkan mereka harus mandi. Mu’az menganalogikanbersuci
dengan debu sama hukumnya dengan bersuci dengan air, dan atas dasar qiyas
itulah ia mengguling-gulingkan seluruh tubuhnya di atas tanah (padang pasir)
untuk bertayamum dan mengerjakan sholat subuh pada waktunya. Berbeda dengan
ijtihad Muaz, umar tetap mencari air dan untuk itu beliau terpaksa mengakhirkan
(menunda) sholat subuhnya. Sepulang dari perjalanan, mereka menanyakan
persoalan tersebut kepada Rasulullah saw. Dan ternyata keduanya tidak
dibenarkan. Kemudian Nabi saw menjelaskan bahwa qiyas yang fasid
karena bertentangan dengan QS Al-Maidah : 6 yang artinya : “...dan jika kamu
dalam keadaan sakit, di tengah perjalanan, keluar dari tempat buang air atau
habis menyentuh wanita (bersenggama) kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah (debu) yang baik (suci), kemudian usaplah muka
dan kedua tanganmu”(QS Al-Maidah:6).
3. Suatu ketika Nabi Muhammad
mengirim sekelompok sahabat ke Bani Qurayzah, dan memerintahkan mereka agar
tidak melaksanakan sholat ashar kecuali di Bani Qurayzah. Waktu yang ditentukan
untuk sholat ashar tersebut hampir habis, padahal mereka belum mencapai tempat
yang diperintahkan untuk melaksanakan sholat ashar. Karena itu kelompok sahabat
terbagi menjadi dua pihak, yaitu ada yang melaksanakan sholat ashar dan yang
satu lagi tidak melaksanakan sholat ashar karena belum sampai pada tempatnya.
Setelah bertemu Nabi mereka menceritakan hal tersebut kepada Nabi dan Nabi pun
membenarkan keduanya.
Beberapa riwayat di atas mengisyaratkan bahwa Nabi
Muhammad saw. melatih, mendidik, dan membimbing sebagian sahabat untuk
berijtihad. Namun ijtihad pada zaman Nabi saw. belum dapat dianggap sebagai
alat penggali hukum, mengingat ijtihad yang dilakukan para sahabat masih dalam
taraf memilih alternatif, sementara penentuan akhir dalam masalah-masalah hukum
pada waktu itu pada hakikatnya masih tetap berada di tangan Rasulullah saw.
Itulah sebabnya mengapa hasil ijtihad para sahabat yang dibenarkan Nabi saw.
sendiri tidak dinamai hasil ijtihad mereka, akan tetapi disebut sebagai sunnah
Rasulullah.
- Kutbuddin Aibak, Metodologi pembaharuan Hukum Islam,Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2008.
- Amir Mu’allim dan Yusnadi, Ijtihad dan Legislasi Muslim
Kontemporer, UUI Press : Yogyakarta.2004.
- Muhammad Mushlehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
Pemikiran Orientalis, PT. Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta. 1997.
- Yusuf Al-Qordlawy, Ijtihad dalam Syariat Islam, PT
Bulan Bintang : Jakarta. 1987.
- Jamil Faturahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
- Kutbuddin Aibak,
metodologi pembaharuan hukumislam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008
- T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pengantar hukum islam, Jakarta: bulan bintang, 1953
- Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, PengantarHukum Islam, Jakarta:
BulanBintang, 1994
- Muhammad Khudhori Beik, Ushul al-Fiqh, terj. Faiz el-Muttaqien, Jakarta: Pustaka Amani,
2007.
- Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi, al-Mawahib al-saniyyah, Beirut:
Dar al-Fikr, 1997.
- Yusuf al-Qardawi, IjtihaddalamSyari’at Islam:
Beberapa Pandangan Analisis Ijtihad Kontemporer, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
- M. Hasbi Ash-Shiddiqy,Pengantar Hukum Islam Jilid 1,
PT Bulan Bintang : Jakarta, 1994.
- JaserAudah, Al-Maqasid untuk Pemula, SUKA
Press UIN Sunan Kalijaga : Yogyakarta, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar